Kamis, 31 Mei 2012

Sebuah Bangku Telah Kosong..




BANGKU yang paling belakang itu memang palin strategis. Tidak heran kalau selalu jadi rebutan. Kalau musim ulangan, laci di bawah meja itu pasti penuh dengan buku pintar. Tapi kalau lagi musim jambu, jambu pun bisa bersembunyi disitu. Apalagi kalau datang-datang jam ngantuk. Seperti sekarang. Angin sepoi-sepoi yang berhembus dari jendela di belakang bangku itu bisa membuat orang lupa mereka berada didalam  kelas. Bukan di kamar tidur. Wina sudah dua kali menguap. Ira tiga kali. “Ngapain tadi malam?” bisik Wina sambil menunduk lebih dalam. Pura-pura menyimak buku pelajaran bahasa prancis diatas mejanya. “kamu ngelayap kemana?” Nonton silat.! Ira balaas berbisik. Karcis jam tujuh sudah habis. Terpaksa menunggu pertunjukan terakhir. Pantas kamu kayak nggak ketemu bantal seminggu. Gila! Ngantuknya bukan main ya, Win? Tangan Ira meraba-raba kebawah laci mejanya, mencari-cari jambu yang tadi di leatakanya disana. Sialan, Win, bisiknya geram. Ada yang ngambil jambu kita! Ah, masa? Wina hampir lupa mereka ada di dalam kelas, bukan di gedung bioskop.tadi aku yang taruh disitu........” nggak ada....”

            Tangan Ira meraba-raba lebih jauh ke dalam dan tiba-tiba......,tiba-tiba dia terjerit tertahan ketika ujung-ujung jarinya menyentuh benda LUNAK yang BERBULU.....,berEKOR pula! Seluruh kelas serentak menoleh kebelakang. Kearah Ira yang sedang terhenyak di kursinya dengan wajah pucat pasi. Tangannya masih mencoba menutupi mulutnya sendiri. Tapi jeritannya sudah sampai kedepan kelas. Ibu Surti terbelalak antara kaget dan  marah. “Ada apa Ira?” bentaknya sengit. Dibantingnya buku yang sedang di genggamnya ke atas meja. Lalu dengan langkah-langka yang mampu mengusir sekompi nyamuk, dia menyerbu kebelakang. “Ada apa?”

            Tetapi Ira sendiri belum mampu membuka mulutnya. Dia Cuma membelalak ketakutan sambil menunjuk-nunjuk laci yang ada di bawah mejanya. Sambil membungkuk ibu Surti ke bawah meja. Tangannya menggapi-gapi ke dalam laciyang dalam dan sempit itu. Mati aku! Pikir Wina gelisah. Kenapa Ira jadi begok begini? Kalau bu Surti tahu ada jambu di dalam laci.................,tetapi tangan Ibu Surti keluar tidak dengan sebungkus jambu. Sebaliknya dia cepat-cepat menarik tangannyua kembali seperti disengat kala. Ketika dia sudah berdiri tegak kemabali, Wina hampir-hampir tidak berani menatap wajahnya. Wajah itu pucat dan merah berganti-ganti. Tapi mata yang membelalak di balik kaca mata itu....,astaga seramnya! Siapa yang melakukan ini?” !

 bentaknya sudah menggelagar ke seluruh kelas sebelum separuh isi kelas itu tahu apa yang terjadi. Ada apa di dalam  laci?  Ibu Surti tidak menunggu sampai murid di kelasnya berubah jadi lebah yang  mendengung-dengung kebingungan. Dia meninggalkan kelas itu dengan marah. Dan kembali bersama Pak Amat. Dalam waktu dua detik. Tukang kebun itu sudah berhasil mengeluarkan  bangkai seekor tikus dari laci  di bawah meja Ira! Tapi tikus tidak sendirian mati disana. Bersama bangkainya, di keluarkan juga sebungkus jambu.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^



Siapa yang menaruh bangkai tikus itu disana? Mata ibu Surti yang penasaran menjelajahi setiap penghuni kelas itu. Tidak ada yang mengaku? Baik! Kalian tidak akan pulang sampai ada yang mengaku! Seluruh kelas jadi sepi seolah-olah ada setan lewat. Putus asa karena tidak ada yang  mengaku. Akhirnya Ibu Surti menoleh pada Ira yang sedang menunduk menanti hukuman. Ira , coba lihat kemari. Ira mengangkat wajah nya dengan lesu. Kamu yang menaruh jambu itu dibawah meja? Dengan gugup Ira mengangguk. Matanya yang ketakutan menggelepar-gelepar dengan paniknya seakan-akan mencari bantuan. Kalau dia di hukum, biarlah semua yang makan jambu itu ikut di hukum juga. Jangan mau enaknya saja. Wina yang duduk disampingnya. Dia yang membawa jambu itu. Dia yang menaruhnya disana. Lena yang duduk di depannya. Dia selalu nebeng makanan apapun yang ada di laci Ira. Dan Odi. Setan pemeras itu. ! secara kebetulan saja Odi ikut kelompok mereka.dia duduk persis di sebelah Wina. Cuma dibatasi sebuah gang. Suatu kali dia menangkap gerak tangan Wina ketika melemparkan sepotong jambu ke mulutnya. Dan saat itu dia memaksa untuk ikut menjadi anggota. Minta bagian setiap ada rezeki. Kalau tidak, katanya Sadis, kulaporkan kamu!

Tahu apa hukuman nya anak yang makan di kelas? Ibu Surti selalu menganggap mereka masih anak-anak. Meskipun murid-muridnya sudah remaja semua. Setiap kali masuk kelas suaranya pasti menggelegar. Anak-anak.............................” bukan Cuma Ira yang bosan diperlakukan seperti anak kecil lagi. Teman-temannya juga. Tapi saat ini dia lebih baik menunduk dari pada melawan. Memperlihatkan tanda kejengkelan berarti menambah daftar dosa. Nanti kamu mesti menghadap suster Cecilia. Kata ibu Surti dingin. Suster Cecilia adalah seorang kepala sekolah mereka. Menghadap dia sama saja seperti menghadap KGB, Kiamat. Dan kamu, Wina! Hampir copot jantung disana? Wina menggeleng ketakutan. Dia sampai lupa bernafas. Kamu juga tidak, Odi? Tidak, Bu. Odi menggagap. Peluh dingin menetes di keningnya. Dan ibu Surti membaca dusta di matanya. Bohong! Suara ibu Surti menggeledek lagi. Saya tahu kamu berdusta. Kalau kamu tidak mau terus terang , kamu juga akan saya kirim ke kantor suster Cecilia. Rosi , Bu. Odi melirik gadis yang berada di dua baris di depannya. Ketika Rosi dengan menoleh marah padanya, Odi membalas tatapnan Rosi dengan sejuta permintaan maaf di matanya. Waktu istirahat tadi....,saya.....,saya lihat dia menaruh sesuatu di laci Ira.....,”

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^



Siang itu juga sidang kilat diadakan di kantor kepala sekolah. Hakim ketua, suster Cecilia sendiri, duduk dengan angkernya dikursi putar dibalikmeja tulisnya. Pak Disman, wakilnya yang selalu mengangguk-ngangguk mengiakan apa saja perintah suster Cecilia, duduk disampingnya. Di hadapan mereka, tegak terpekur dua terdakwa menanti di vonis. Rosi dan Ira. Ibu Surti, jaksa penuntut dalam kasus ini, tegak diantara mereka. Dia tetap berdiri tegak dihadapan mereka dengan garangnya walaupun dibelakangnya ada kursi kosong. Apa maksudmu menaruh bangkai tikus di laci Ira, Rosi? Tanay suster Cecilia dingin. Itu bukan bangku  Ira, suster, sahut Rosi tersendat-sendat. Itu bangku saya..... oh, jadi kamu berdua berebut duduk di belakang, hm? Supaya bisa makan jambu di kelas? Supaya bisa nyontek pula. Ibu Surti menambahkan satu tuntan  lagi. Tempat itu memang paling rawan kalau ulangan.  Pengadilan itu tidak makan waktu  lama. Tidak ada setengah jam. Hukuman sudah dijatuhkan tanpa kesempatan naik banding lagi. Mereka diskors tiga hati.

            ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Sudah lama memang Ira dan Rosi saling mendendam. Soalnya bukan Cuma berebut bangku saja. Mereka memprebutkan yang lain juga. Samsu tidak terlalu tampan. Tapi dia menarik. Rajin. Pinter. Ulet. Dan punya punya seribu satu macam lagi sifat yang membuat dia tampak seperti pahlawan bagi gadis-gadis remaja di sekolahnya. Sebenarnya bukan hanya Ira dan Rosi yang memperebutkannya. Wina juga diam-diam sudah lama naksir sama cowok yang satu  ini.  Tapi demi persahabatanya dengan  Ira, dia memilih jadi penonton dari pada peserta. Lagipula Wina sadar. Sam punya sepasang mata yang jeli. Dia pasti bisa membandingkan. Betapa indahnya betis Ira dibandingkan betisnya. Betapa manisnya senyum Rosi bila dibandingkan senyum Wina yang malu-malu.ah, pokoknya sudalah. Wina sudah menyerah sebelum bertempur. Dia diam saja setip kali Ira menceritakan persainganya dengan Rosi. Pura-pura jagi pendengar  yang baik. Seperti siang ini . ketika Ira pulang sambil mencak-mencak. Aku ingi sekali menjambak rambutnya dan membenturkan kepalanya  di tembok. ! geram Ira sambil menoleh-noleh kebelakang. Tentu saja maksudnya mencari Rosi. Tapi yang dicari tidak kelihatan batang hidungnya. “Sudalah, Ir. “ kamu mau di hukum lagi? Bujuk Wina. Penasaran! Kamu sih tidak mengalami sendiri!  Enak saja bilang sudah, sudah! Dia sudah ngumpet, Ir.! Sela Odi yang tahu-tahu sudah ada di belakang mereka. Sudah deh, pulang saja yuk!



           Pulang! Pulang! Geram Ira gemas. Dasar pengecut! Jambunya mau, kalau ketahuan pada lari semua! Abis kita mau apa? Demonstrasi depan kantor? Menuntut pembebasanmu? Solider dong! Ikut bolos tiga hari? Kita keroyok Rosi! Wah, itu kriminil, Ir.! Pokonya aku tunggu di sini! Desis Ira panas. Tatapanya yang berapi-api masih berkeliaran mencari-cari Rosi. Kalau kalian takut, pulang saja! Wah, gawat, dengus Wina cemas. Aku ada usul, Ir, bisik Odi tiba-tiba. Dari pada kita di donder suster Cecilia karena ngeroyok dia......,
Usul apa? Bentak Ira curiga. Duh, kamu jangan galak-galak dong! Dengar dulu!  Odi menoleh kebelakang terlebih dahulu sebelum membisikan usulnya di telinga Ira. Lena yang dari tadi diam saja menunduk menghitung kerikil. Sekarang ikut-ikutan mendekatkan telinganya.  Wina juga tidak mau ketinggalan memasang kuping.


&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&



Panitia penyambutan Rosi sudah siap hari itu. Odi, Ira, Wina dan Lena menunggu dengan hati berdebar-debar apa yang akan terjadi. Hari ini hari pertama Ira dan Rosi masuk sekolah lagi. Berbeda dengan Ira yang dari pagi-pagi sekali sudah ada di kelas. Rosi belum muncul sekalipun bel masuk hampir berbunyi. Gimana nih? Bisik Wina gelisah. Sudah hampir bel dia belum nongol juga. Sialan! Dia tahu kali! Gerutu Odi. Arsitek permainan konyol ini. Sengaja dia bolos lagi. ! gugup. Entar ke buru Pak Iskak datang. Iya, Di. Lena ikut menimpali. Kalau Rosi datang pas waktu  Pak Iskak masuk. Gimana dong? Biarin! Potong Ira judes. Pokonya kalian tahu beres saja. ! itu urusan ku sama Odi. Kalian diam saja deh,. Rasanya dia nggak datang, Ir. Sesudah bel masuk berbunyi, Odi sendiri ikut-ikutan bingung. Ambil baik saja ya? Pak Iskak sudah datang, . di! Teriak Lena panik. Dia lari pontang ponting dari pintu masuk ke belakang. Dan cepat-cepat duduk dibangkunya sendiri! Dia datang sama suster Cecilia.! “Buset!” keluh Odi dengan napas memburu. Kenapa jadi KGB itu yang nongol!”? secepat kilat Odi naik kebangku paling belakang di sudut dekat jendela. Dan mengambil sebutir telur busuk yang tadi di letakannya diatas. Telur itu akan jatuh menimpa siapa saja yang duduk di bangku paling belakang. Apalagi kalau dia tergesa-gesa menarik bangkunya sebelum duduk. Sandaran bangku itu akan membentur bingkai jendela di belakangnya. Getaran yang ditimbulkannya akan di salurkan ke telur yang  sengaja di letakan di ujung’ tanduk’ itu. Telur akan menggelinding dan menimpa kepala orang yang duduk dibangku yang di bawahnya.

Sudah berapa kali Odi mentes senjatanya. Dia yakin sekali! Tidak bakal gagal. Melihat bengku di sudut itu masih kosong, Rosi akan bergegas duduk disana. Dan begitu dia duduk, telur yang telah mereka sediakan akan meluncur keatas kepalanya. Odi duduk di saat suster Cecilia memasuki kelas bersama pak Iskak. Buru-buru disembunyikan telur itu di laci bawah mejanya. Dan dadanya jadi berdebar-debar sendiri. Ada apa? Tidak biasanya suster Cecilia muncul di kelas pagi-pagi begini. Anak-anak......katanaya dengan wajah yang semendung  langit di luar sana. Hari ini tidak ada pelajaran. ...ira dan Wina  saling berpandang tegang. Kita akan pergi bersam-sama kerumah Rosi. Suster baru saja dapat kabar. Kemarin mendapat kecelakaan. Hah,?! Seluruh kelas itu serentak kaget. Suster Cecilia diam menunggu sampai seisi kelas kambali tenang. Sambil menunggu mereka , dia melakukan yang belum pernah mereka dilakukannya selama ini. Lebih-lebih di depan murid-muridnya. Dia membuka kaca matanya. Dan menyeka air matanya. Didesak perasaan tidak enak. Wina sampai melupakan rasa takutnya pada suster Cecilia. Dia membuka mulitnya tanpa bisa di cegah lagi. Gawat , tidak suster? Suster Cecilia menoleh kebelakang. Ke tempat Wina. Matanya menatap redup ketika lambat-lambat bibirnya gemetar.

“Dia meninggal.”

Sekali lagi kelas jadi gaduh. Kali ini lebih ribut daripada tadi. Tidak sengaja tangan Odi yang masih berada dalam laci mengepal. Dan telur yang disediakanya bagi Rosi remuk dalam genggamanya. Hari ini kita mengatarkanya ketempat peristirahatanya yang terakhir. Kata suster Cecilia ketika menjadi lebih tenang. Tapi sebelumnya kita akan bersama-sama berdoa di kapel untuk arwah Rosi. Ira merasa matanya menjadi panas. Rosi sudah meninggal. Hari ini dia telah pergi, . sementara itu dia dan teman-temanya masih merencanakn untuk mengolok-olokanya dengan sebutir telur busuk!  Tidaj sadar Ira meilirik kebangku yang ada di sudut itu. Bangku yang paling belakang. Sekarang bangku itu telah kosong. Dan air mata ira menitik ke pipinya.

                                   

                                    *******************************

Rabu, 30 Mei 2012

Titian Ke Pintu Hati Mu





HUJAN masih turun juga. Memang tak selebat tadi. Tinggal gerimis. Tetapi titik-titik air yang turun menetes itu lumayan juga kalau membasahi baju.

            Sejenak Rian yang sedang berlindung di sebuah halte bis berperang dengan pikirannya sendiri. Terus? Atau tunggu sebentar lagi? Sampai hujan berhenti sama sekali. Dan dia bisa tiba di rumah Ati dengan pakaian kering.

            Sayang kalau kemeja barunya lusuh kena air hujan. Belum lagi kalau ada motor kurang ajar yang lewat nanti. Genangan-genangan air disana dapat mencipratkan lumpur ke celananya. Tetapi kalau dia menunggu lagi jangan-jangan dia malah kelamaan sampai di rumah Ati. Lebih lagi kalau gadis itu keburu ngambek. Rian pasti tidak sempat untuk menjelaskan kenapa dia terlambat.ati sudah mengunci dirinya dikamar. Dan tidak mau keluar meskipun dia tahu Rian sudah setengah jam menunggu di ruang tamu.

            Kadang-kadang Rian memang tidak bisa memahami jiwa Ati. Jangankan mengerti. Menerka-nerka saja susah. Hari ini dia kelihatan manja kepada Rian. Tetapi esok dia tampak begitu acuh tak acuh. Lusa lain lagi. Kadang-kadang Rian jadi beranya-tanya sendiri. Cintakah Ati kepadanya? Ati memang baru berumur enam belas tahun. Masih puber. Jiwanya masih labil seperti kincir angin. Lagipilula  mereka bertemu memang dengan cara yang agak lain dari yang biasa. Gadis itulah yang pertama kali menghubungi Rian lebih dulu. Dia tertarik dengan suara Rian. Sebagai penyiar radio amatir yang ngetop. Suaranya memang banyak di gandrungi gadis-gadis remaja seusia Ati. Ati dan teman-temannya malah bertaruh siapa  yang lebih dulu dapat berkenalan dengan penyiar radio yang simpatik itu. Ternyata Atilah yang paling beruntung. Keberanian nya untuk datang sendiri ke markas tempat Rian bertugas menyebabkan dia memenangkan taruhan. Sekaligus memenangkan hati Rian.

            Untuk beberapa bulan kemudian mereka kemana-mana bersama-sama. Ati seakan-akan demikian bangga memamerkan Rian dengan teman-temannya. Dia malah setia menunggu Rian sampai selesai bertugas kalau hendak pergi ke pesta ini atau menghadiri pesta ulang tahun si Anu. Ati tidak segan-segan nongkrong di markasnya, ngobrol-ngobrol bersama rekan-rekan penyiar yang lain kalau kebetulan sedang siaran. Mula-mula tentu saja Rian tidak keberatan. Dia malah bangga ada gadis secantik Ati menunggunya sampai selesai siaran. tapi lama-kelamaan , entah darimana datangnya perasaan itu. Rian merasa Ati bukan lagi sekedar duduk-duduk disana untuk menunggunya. Ati sengaja datang kesana untuk bertemu dengan Roni. Rekannya yang satu ini memang suaranya tak sesimpatik Rian. Tapi tampangnya meyakinkan. Bukan Cuma cakep, tubuhnya pun atletis, paling berbobot. Bukan ukuran-ukuran pemuda yang kerdil kurang gizi. Atau kurus kering karena terlalu banyak begadang sambil minum alkohol. Otot-ototnya seperti atlit . kulitnya paling bersih. Tidak di corat-coret dengan segala Tatoo yang membuat badan yang hanya selembar itu jadi lebih mirip lagi dengan papan tulis. Pakainya pun rapi. Tidak nyetrik. Tapi cukup modis. Suaranya mantap. Sikapnya dewasa. Penampilannya membuat semua gadis yang berada di dekatnya merasa nyaman,termasuk Ati. Sejak pertama kali datang. Ati memang sudah merasa tertari kepada Roni. Dia memang datang kesana untuk menemui Rian. Kebetulan saat itu Rian sedang siaran. Roni lah yang menemaninya ngobrol. Dan sejak itupun Ati sudah tahu, dia sudah jatuh hati kepada Roni. Apalagi ketika Roni muncul. Ternyata baik sikapnya mupun tampangnya tak sesimpatik suaranya. Penampilannya agak norak. Apalagi didepan gadis yang batu di kenalnya. Gadis yang jauh-jauh untuk mencarinya.

            Lain benar dengan Roni. Meskipun bukan dia yang dicari, pelayanannya sebagai tuan rumah benar-benar mengagumkan. Tidak kurang. Tapi tidak juga berlebihan. Wajar. Hanya sudah kepalang ingin memenangkan taruhan. Ati membawa Rian untuk di pamerkan kepada teman-temannya. Sesudahnya ia sebenarnya ingin mundur saja. Kalau Cuma yang sebegitu, tidak usah jauh-jauh dia mencari ke radio. Di sekolahnya saja banyak kok! Ngapin dia panas-panas mesti naik bajaj ke sana? Berjam-jam nongkrong menunggu Rian selesai siaran. Seperti sudah tidak ada lagi lelaki di SMA—nya! Yang nganggur juga nggak kurang! Kalau akhirnya Ati datang dan datang lagi kesana. Semua gara-gara Roni. Gara-gara si ganteng itu ada di sana . dan Ati ingin menemuinya. Dia tidak punya cara lain karena Roni sendiri tidak ada inisiatif untuk membuka jalan lebih dulu. Roni memang selalu melayaninya dengan ramah. Sama seperti Ati baru pertama kali datang dulu. Dia tidak pernah bosan menemani Ati ngobrol. Dan menurut perasaan Ati , Roni juga gembira kalau dia datang.

            Tetapi kenapa Roni tidak pernah datang ke rumah? ,emgapa dia tidak pernah menelpon meskipun Ati sudah beberapa kali meninggalkan nomor teleponnya? Mengapa dia hanya pasif menunggu? “Tentu saja dong!” desis yayuk ketika Ati menyapaikan uneg-uneg hatinya. Nah, mana dia tahu kamu naksir padanya? Aku saja nggak tahu  kok!  Dia kan cowok! Mestinya dia aktif dong! Mana dia berani? Dia pikir kan kamu ceweknya Rian! Ah, Rian kan Cuma jembatan. Supaya aku bisa ketemu dia. Tapi sudah hampir setahun kita bergaul, dia begitu-gitu juga! Dingin tidak hangat pun tidak! Kalau begitu lebih baik kau putuskan hubungan mu dengan Rian. Dan aku tak punya alasan lagi untuk menemui Roni? Kalau dia mencintaimu, dia pasti akan mencarimu. Kalau tidak? Itu tandanya kamu bertepuk sebelah tangan! Tapi aku betul-betul mencintainya, yuk!ambil saja yang sudah ready stock, Ti. Sudah kucoba, Yuk.tapi nggak bisa. Rian memang baik.sabar. setia. Tapi gimana ya, aku gak bisa aja. Rasanya pikiran ku selalu lari ke Roni sajawalaupun badan ku bersama Rian. Wah, gawat tuh.! Nggak ada jalan lain. Kamu mesti ngomong blak-blakan. Kasihan Rian. Nanti dia keburu serius. Kalau dia bunuh diri, habis kamu di ganyang fansnya!

            Yayuk memang begitu. Enak saja kalau ngomong. Kadang-kadang Ati iri padanya. Dia tidak pernah punya pacar. Tidak pernah pusing. Tidak pernah merasa untuk diet. Tidak heran kalau badannya seperti karung penuh,. Dan dia tidak pernah sakit maag.! Orang bilang, sakit maag erat hubunganya dengan pikiran. Kalau lagi banyak pikiran. Maag bisa ikut-ikutan kumat. Seperti Ati. Kalau dia sedang bingung bagaimana cara menukar Rian—nya dengan roni. Lambungnya seperti latah, ikut-ikutan perih. Seminggu saja tidak melihat dia, aku sudah kangen, Yuk. Keluh Ati sambil memijit keningnya yang mulai terasa berdenyut-denyut lagi. Apalagi kalau dengar suaranya di radio. Terus terang saja sama Rian, Ti. Siapa tahu dia bisa menolongmu. Jika Rian tidak ada, sudah beberapakali memang Ati bertekad untuk terus terang. Tetapi setiap kali berhadapan, kata-kata yang sudah lama disusunya hilang entah kemana. Seperti sore ini. Rian duduk dihadapanya dengan secangkir teh panas. Rambutnya basah. Kemejanya juga. Itu pasti kehujana. Kasihan. Dingin-dingi begini dia datang juga. Padahal gadis yang dikunjunginya sedang memikirkan orang lain. Merindukan pemuda lain.

            Kamu tidak adil, Ti! Entah sudah berapa puluh kali hati kecilnya memaki. Kamu memperalat Rian untuk mendapatkan Roni. Kamu memakai dia hanya sebagai jembatan untuk meraih lelaki yang kamu cintai! Ada apa sih, Ti? Desis Rian bingung. Sudah setengah jam mereka duduk berhadapan. Tapi Ati belum bicara apa-apa. Dan Rian tidak mampu membaca apa yang tersirat di balik kebingungan wajh Ati. Katanya kamu mau ngomong sesuatu. Dari mana aku harus mulai, pikir Ati gugup. Apa yang mesti kukatakan? Blak-blakan aja deh, Ti, terngiang lagi kata-kata Yayuk kemarin. Sebelum dia keburu serius! Aku ingi mengakhiri hubungan kita sampai disini aja ,Rian.....” desah Ati terputus-putus. Dia tidak berani mengangkat mukanya membalas tatapn Rian. Dia tidak sampai hati melihat kehancuran hati pemuda itu. Dia hanya menerka-nerka seperti apa air muka Rian sekarang. Marahkah dia? Sedih?atau....,kecewa? Sejenak Ati tidak mendengar apa-apa. Ruang itu menjadi hening. Hanya tetes-tetes air hujan diluar . dan helaan napas Rian yang sampai ketelinga Ati. Lalu setelah menunggu berabad-abad dalam kekosongan, Ati mendengar suara itu. Suara yang amat perlahan dan tawar. Ini keputusan mu sendiri? Ati Cuma mengangguk. Orang tuanya memang tidak menyukai Rian. Anak Radio. Apa yang dapat diharapkan dari mereka? Ayah Ati menyukai laki-laki yang bekerja keras mencari uang. Bukan Cuma menjual suara.! Tetapi mereka cukup demokratis. Mereka tidak menghalangi anaknya pacaran dengan siapa saja. Asal hanya terbatas pada taraf itu. Kalau menikah nanti dulu!

            Itu bukan lagi persoalan yang dapat di pecahkan oleh remaja. Orang tua mesti turut campur. Dan kalau orangtua sudah ikut campur. Pilihan mereka pasti tidak jatuh pada pemuda semacam Rian. Calon mereka harus lebih bonafid! Bagi mereka, anak adalah tabungan bagi ayah dan ibunya di hari tua. Bagaimana mau menumpang hidup kalau menantu nya seperti itu. ! sekolah saja sudah drop out! Salah-salah mereka yang memberi makan menantu! Mana mereka mau mengerti denganm segala macam cinta! Tidak ada di kamus mereka. Apa karena ada orang lain? Desak Rian penasaran. Dia rela melepas Ati. Tetapi dia mesti tahu apa sebabnya. Sekali lagi Ati mengangguk. Dia telah merasa bedosa kepada Rian. Dan tak mau lagi menambah dosanya dengan berdusta. Rekanku juga? Pancing Rian sekali lagi. Untuk ketiga kalinya Ati mengangguk. Maafkan aku, Rian, desisnya sambil menunduk semakin dalam. Mangapa baru kau katakan sekarang , Ati? Aku takut melukai hatimu. Tapi akhirnya kaulukai juga kan? Sudah kucoba untuk mencintaimu, Rian     ......tapi aku tak dapat! Dia juga mencintaimu? Dia? Ati mengangkat mukanya dengan heran. Tetapi begitu matanya bertemu demgan mata Rian  cepat-cepat di tundukan kembali kepalanya. Tidak sampai hati melihat yang sedang berlumur duka itu. Laki-laki yang kuncintai itu. Rian tidak menyebutkan namanya meskipun dia sudah tahu siapa yang sedang mereka bicarakan. Dia juga mencintaimu? Aku tidak tahu   ........ kami sama-sama tidak berani mengkhianati mu. Aku akan menemuinya. Janga, Rian!  Ati mengangkat mukanya dengan terkejut. Ditatapnya pemuda itu dengan penuh permohonan. Dia tidak bersalah! Dia tidak pernah mengkhianatimu!

            Aku tahu. Tidak adil menyalahkanya, Rian! Dia tidak permah berani mendekatiku. Dia tetap menganggapku milikmu. Aku Cuma ingin menyapikan padanya kau mencintai dia. Jangan! Bantah Ati segera. Kalau dia mencintaiku,m dia harus datang sendiri kepada ku. Aku ingin mencintai seorang laki-laki . bukan seorang anak kecil.kalau begitu, kata Rian setenang biasa. Aku hanya ingin menyampaikan padanya , diantara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Kita Cuma teman biasa. Sekarang Ati menatap Rian dengan terharu. Ternyata dibalik wajah nya yang sedrhana. Dia menyimpan sebentuk hati yang mulia. Wajahnya tidak menapakan betapa sakitnya patah hati. Tetapi Ati tahu, dibalik ketengan sikapnya. Dia sedang menangis. Cuma dia seorang laki-laki yang tabah dia tetap tegak seperti sebuah batu karang yang kokoh. Tidak menjadi pemuda yang cengeng yang merintih meratapi cintanya yang gagal. Dan ini lebih menambah  lagi kekaguman Ati kepadanya. Sampai hari ini Ati masih menunggu kedatangan Roni. Tetapi yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang juga. Hanya suaranaya yang masih tetap setia mengunjungi Ati melalui radio kesayanganya.

            Ati juga masih dengan setia mendengarkan suara Rian setiap kali dia siaran. Ddan setiap kali mengagumi suara yang simpatik itu , Ati jadi bertanya-tanya sendiri, benarkah dia tidak mencitai Rian? Atau dia mesti menunggu dua-tiga tahun lagi sampai jiwanya cukup dewasa untuk memilih kembali? Siapa tahu saat itu dia sudah dapat membedakan kekaguman dengan cinta sejati!





                                    *****************************************

Seuntai Sajak Buat Kekasih





WAH, Wilda betul-betul bingung. Nah, coba saj bayangkan! Besok ada ulangan bahasa inggris. Tapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Bahasa inggri di SMA kan tidak sukar. Sederhana. Itu-itu juga. Jadi jangan heran kalau seorang lulusan SMA mesti dites lagi bahasa inggris kalau mau melamar pekerjaan. Soalnya biar nilai bahasa inggrisnya delapan, mereka tetap tidak bisa ngomong bahasa inggris. Paling-paling dengan modal bahasa inggris sebegitu, mereka Cuma bisa nonton video. Jaws. James Bond. Twilight. Transfoemer. Emanuelle. Itu pun main tebak saja!. Tapi begitulah. Buat wilda, Bahasa inggris bukan problem. Yang bikin pusing kepalanya justru Bahasa indonesia! Entah darimana Pak Dar, guru Bahasa indonesianya yang simpatik mendapat ide gila ini. Bayangkan! Dia memilih tujuh orang siswi yang paling top nilai Bahasa indonesia untuk membaca puisi di depan kelas! Sadis nggak?

            Wilda memang ngetop dalam pelajaran yang satu ini. Dalam urusan Bahasa, dia memang Empunya kelas III IPS. Tapi baca sajak? Waduh! Apalagi sajaknya mesti bikinan sendiri! Wah, kiamat!

            Dia memang senang puisi. Tapi tentu saja ciptaan orang lain. Ciptaan penyair-penyair terkenal.protes Wilda. Kamu punya bakat. Saya tahu itu. Tapi kalau kau tak pernah berani memupuk bakatmu, sampai kapan kamu bisa maju.? Ah, memang percuma memprotes Guru. Selama kamu jadi siswa, perintah guru adalah undang-undang. Tidak bisa dibantah. Jadi terpaksa Wilda mengorek-ngorek puisi simpanannya. Mencari yang kira-kira cocok untuk dipamerkan di depan kelas.

            Nah,dari tiga belas buah sajak satu eksemplar yang sudah dua tahun lebih nongkrong di laci meja tulisnya yang paling bawah, ada satu yang paling di sukai Wilda. Soalnya yang satu inisentimentil dan .....,kena! Tentu saja Cuma kena untuk dirinya sendiri. Untuk Pak Dar  yang anak-anaknya sudah setengah  lusin mungkin ini terlalu cengeng. Dangkal. Tidak bermutu. Tapi.....,ah, sudalah. Daripada bengong mendingan dia mulai saja menghapal. Mana besok ada ulangan bahasa inggris lagi! Biar gampang kan dia mesti belajar juga.malu kalau dapat empat. Dan disitulah enaknya membaca sajak buatan sendiri. Sudah menghapalnya cepat, kalau salah pun tidak ada yang tahu! Lain kali dia membawakan sajaknya Chairil Anwar, salah baca satu koma saja seluruh kelas sudah tahi! Ketika menghapal sajaknya, mau tidak mau kenangan Wilda kembali kemalam itu. Malam dua tahun malam  itu hancur berantakan dengan datangnya pertengkeran sengit diantara mereka berdua. Padahal permulaanya sederhana sekali.

            Wilda ingin mereka mengantarkan Emi pulang dulu. Saat itu hari sudah gelap. Pukul delapan cukup malam bagi seorang gadis yang nonto sendirian. Memang Cuma kebetulan kalau disana mereka bertemu dengan Emi. Mereka baru keluar dari bioskop ketika Emi menegur duluan. Dan melihat Emi seorang diri, Wilda jadi kasihan. Dia tahu rumah Emi cukup jauh. Di dearah yang rawan pula. Kita antar Emi dulu ya , Han, pinta Wilda kepada Hanafi. Kasihan dia pulang sendiri. Taksi banyak. Bajaj banyak, kenapa kita yang mesti nganterin dia? Protes Hanafi kesal. Tentu saja dengan separuh berbisik. Kuatir kedengaran Emi. “Nggak pantas kan malam-malam gini dia kita biarkan pulang sendiri, Han? Entar ada yang  iseng. “Sebodo amat! Dia bisa datang sendiri, kenapa nggak bisa pulang sendiri?”

            Datangnya kan tadi masih siang, Han. Sekarang sudah malam.filmnya panjang sih.” Takut apa sih? Kalau di culik juga pasti dipulangin lagi.tampang kaya bomber gitu, Dracula juga kabur! Boro-boro ada yang isengin!” Wah, kalau soal menghina orang,Hanafi memang rajanya. Mentang-mentang cakep, seenaknya saja dia mencela orang! Wilda sendiri kadang-kadang jengkel. Dia tidak apa Hanafi masih mau jadi pacarnya seandainya tubuhnya gembrot seperti Emi. Hanafi memang tampan. Ganteng. Penuh perhatian. Tapi mulutnya! Duh, jahatnya.! Sekali-sekali mesti ada orang yang mengajarnya.dia sudah harus belajar menghargai orang lain. Jangan seenaknya saja mencela!dan kalau dan kalau ada orang yang sanggup mengajarnya, Wilda yakin dialah orang itu! Siapa lagi yang  mau dituruti Hanafi kalau bukan Wilda? Sama Bapaknya pun dia tidak takut!

            Bukan salah Wilda kalu akhirnya pelajaran itu diakhiri dengan pertengkaran. Kata orang, pertengkaran diantara dua orang saling mencintai adlah cara untuk menambah eratnya cinta mereka. Tapi bagi Wilda dan hanafi, pertenkaran itu malah membuat hubungan mereka menjadi hancur berantakan! Hanafi tidak pernah lagi muncul di rumah Wilda. Jangankan muncul, menelpon tidak! Padahal setiap kali telpon berdering, Wilda sudah melompat menyambarnya. Dan setiap kali ada telpon untuknya, jantungnya hampir putus karena berdebar terlalu cepat. Tetapi telpon yang ditunggunya tidak muncul-muncul juga.

            Sia-sia menunggu suara Hanafi di sebrang sana. Sama sia-sianya menunggu pak Pos yang akan mengantarkan surat Hanafi. Tidak surat buat Wilda. Karena Hanafi memang tidak pernah menulis surat! Sering Wilda untuk mengalah saja. Menelpon duluan. Tidak tahan rasanya didera rindu begini. Entah sudah berapa kali di putarnya nomor telpon Hanafi .....8.....8.....2....6......tapi dia tak sanggup lagi memutar nomor berikutnya. Ada rasa malu menikam hatinya. Membuat mukanya merah walaupun tidak ada orang disana. Bagaimana kalau Hanafi menolaknya? Bagaimana kalau dia sudah menemukan orang lain? Wilda toh tidak apa yang terjadi di sekolah Hanafi. Sekolah mereka berjauhan. Dan disana banyak siswi yang cakep-cakep. Lebih menarik daripada wilda. Siapa tahu Hanafi sudah kecantol salah satu diantara mereka?

                                                *******************************

            Tepuk sorak riuh menerbangkan Wilda kembali ke tempat bangkunya. Dia merasa sangat malu. Sekaligus bangga. Sambutan teman-temannya begitu spontan. Begitu semarak. Ah, Wilda tidak menyangka begitu meriah teman-temannya menanggapi pembacaan sajaknya. Beberapa diantara mereka malah meminjam naskah sajak itu dan menyalinya! Ketika sajak itu kembali ke meja nya, kertas kosong dibawahnya sudah penuh dengan  tulisan teman-temannya. Ada yang memuji. Ada yang menasehati. Malah ada juga yang ikut menangisi kisahnya!

            Tetapi sambutan paling berkesan datang dua hari kemudian. Pada suatu sore di beranda rumahnya. Hanafi muncul begitu saja disana. Wilda hampir tidak mempercayai matanya sendiri ketika melihat Hanafi datang dengan seikat mawar merah ditangannya.tepat seperti yang dikhayalkannya setiap malm. Persisi seperti yang ditumpahkan nya diatas sajaknya.! Hai” sapa Hanafi membuyarkan pesona yang masih menyelimuti Wilda. Jadi dia benar-benar Hanafi, pikir Wilda antara kaget dan haru. Dia benar-benar datang kerumah ku! Tepat seperti yang selalu kuimpikan tiap malam. Tapi kali dia menegurku. Dia bicara. Dia benar-benar Hanafi. Dan ini bukan mimpi! “Apa kabar, Wilda? Tegur Hanafi sekali lagi. Lebih lembut. lebih hangat. “Ba....Baik....wilda menggagap. Dia sudah jauh berubah, desah Wilda dalam hati. Penampilanya. Perawakanya.pakaiannya. dia tampak lebih dewasa. Lebih meyakinkan. Tapi matanya tidak berubah. Cara menatapnya tidak berubah. Seyumnya pun tidak berubah! Dia masih tetap Hanafi yang dulu! Apa yang membawa mu kemari, Han? Ada getar dalam suara Wilda. Ah, itu pasti getar hatinya. Getar-getar bahagia yang membias ke dalam suaranya. Percuma ditutup-tutupi. Hanafi pasti sudah membaca gelepar-gelepar kerinduan yang melonjak-lonjak dimatanya.

            Sajakmu, sahut hanafi sambil tersenyum. Ah, senyum yang manis itu,! Senyum yang selalu dirindukannya.! Sajakku? Kalau Wilda terbelalak, kali ini benar-benar terkejut. Sajakmu yang kau bacakan di depan  kelas dua hari yang lalu. Itu sajak untukku kan? Tapi

            Sajak itu yang membawaku ke mari. Karena sajak mu melenyapkan keraguan yang telah dua tahun menyita keberanian ku untuk datang kesini. Sajak itu mengungkapkan perasaanmu yang sebenarnya kepadaku ,bukan? Kau masih tetap menunggu ku dan mengharapkan kedatangan ku kembali! Eh, apa aku salah lagi?

            Merah paras Wilda mendengarnya. Tapi merahnya pipinya saat itu pasti bukan karena malu. Merah bisa berarti gembira. Bahagia. Cerah. Dan seperti itu pulalah hati Wilda sekarang. “Tapi aku tidak mengerti kenapa sajak ku bisa sampai kepadamu?” Emi menyalin untukku. Emi? Temanmu yang montok itu. Hanafi tersenyum. Kalau kamu tidak cemburu, terus terang kukatakn dia sudah lebih langsing dari dua tahun yang lalu.”

            Wilda,berkata “Kritikmu membuat dia berdiet lebih ketat.” Dan kritikku hampir membuat aku kehilangan kamu. Kamu harus mulai belajar menghargai orang lain, Han . itu sudah kamu katakan dua tahun yang lalu. Tapi buktinya baru kamu liat sekarang! Walaupun tidak cakep, Emi baik. Dia tidak mendendam walaupun kau sering mencelanya.

            Dua tahun yang lalu pun aku sudah insaf, kamu yang benar. Cuma aku malu kemari lagi. Takut di tolak. Untung ada yang mennyampaikan sajakmu kepadaku. Kalau tidak, bagaimana aku tahu kau masih teru menantikan diriku?  Hanafi mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Perlahan tapi pasti Wilda menyambutnya.

                     



    #########################################################

Selasa, 29 Mei 2012

Yang Muda yang Selalu SAlah




NAMANYA sejak lahir Sugiono. Dikampungnya di panggil Oon. Orangtuanya menyebutnya lanang. Tapi di kelas III IPA, dia mempunyai panggilan kesayangan Pak Ion. Soalnya dia guru kimia.dan anak-anak kelas III IPA terkenal pintar memberikan nama kesayangan buat guru-guru faforit mereka.                                                                   

ibu Yeni misalnya, yang mengajar Biologi.  Dia lebih dikenal dengan Ibu Joyce. Soalnya meskipun memakai rok, cara belajarnya mirip pelawak laki-laki yang sedang berlakon sebagai perempuan.

Pak Pandu lain lagi. Anak-anak IPA sudah hampir lupa siapa namanyayang sebenarnya. Karena yang mancung mulutnya bukan hidungnya, dia dipanggil Pak Bemo. Dan karena dia tidak marah, anak-anak berani memanggil demikian meskipun didepan yang punya nama itu sendiri.

Ibu Joyce dan Pak Bemo teermasuk dua diantara sekian gelintir guru-guru faforit kelas III IPA. Soalnya mereka tidak galak. Tidak suka marah-marah. Senangg bergurau. Senang mengobrol walaupun waktu pelajaran. Dan penuh pengertian pada murid-murid yang nyontek waktu ulangan.

Mereka sering tidak masuk jadi anak-anak punya waktu kabur main video game yang saat itu belum dilarang. Mereka senang membonceng murid sampai kerumah kalau pulang sekolah. Tentu saja membonceng anak yang punya mobil, sehingga hubungan antara Guru dan anak didiknya bertambah akrab.

Mereka sering datang terlambat. Jadi kalau ada murid kebetulan datang terlambat, mereka bisa memaklumi. Terlambat bangun. Hujan. Bis yang penuh sesak. Atau  kadang-kadang tanpa alasan pun tak apa-apa.

mereka sama-sama senang tukar menukar majalah. Pinjam meminjam Novel. Dan sama-sama suka jajan.

Ibu Joyce sering memanggil salah seorang muridnya untuk tolong membelikan kue-kue di kantinn waktu istirahat. Soalnya di ruang guru tanya disediakan segelas teh.

Pak Bemo juga hampir tiap hari menyuruh meridnya tolong belikan rokok di depan sekolah. Uangnya sih nanti diganti kalau pesananya sudah datang. Tapi biasanya anak-anak sungkan menerima uang penggantinya.

Masa uang sebegitu saja di ganti! Yang pinjam kan Guru sendiri! Pengganti orangtua di sekolah. Tokoh yang mesti di hormati. Begitu yang diajarkan mereka disekolah maupun di rumah.

Jadi biasanya murid-murid menolakuang yang di beerikan Ibu Joyce dan Pak Bemo. Apa sih artinya sebungkus rokok dan  tiga pisang goreng? Cuma beberapa ratus rupiah aja kok.!

Tetapi kalau kebetulan yang di suruh murid yang prihatin kantongnya seperti fitri, persoalannya jadi lain. Uang yang dimilikonya tiap hari hanya cukup buat naik bus. Bagaimana dia bisa membelikan rokok atau kue untuk gurunya?

Menerima uang pengganti Gurunya dia malu. Teman-temannya kan selalu menolak di ganti. Tidak di terima berarti dia tidak naik bus. Jalan kaki ke rumahnya tidak mungkin. Terlalu jauh. Panas lagi. Kalau dia sakit, uang untuk beli obat berarti uang untuk ongkos naik bis.

Jadi serba salah, karena takutnya ketemu Pak B emo dan Ibu  Joyce waktu  istirahat, fitri sampai bersembunyi saja di kelas. Daripada disuruh beli kue!

Mula-mula fitri juga tidak menyadari keadaan yang sudah bertahun-tahun terjadi disekolahnya itu. Sudah salah kaprah. Yang salah juga sudah tidak kelihatan lagi kesalahnya. Tapi sejak kedatangan Pak Ion, dia menggantikan Pak Bemo yang mendadak harus pulang kedaerahnya untuk menikah. Yang salah kaprah itu sudah mulai kelihatan bopengnya.

Pak Ion tidak pernah datang terlambat. Jadi murid yang terlambat datang ke kelas akan dihukum kalau tidak dapat memberikan alasan yang tepat. Dia tidak pernah menggunakan waktu belajar untuk bergurau atau mengobrol yang tidak perlu. Dia langsung menyobek kertas bagi murid yang ketahuan saat menyontek waktu ulangan.

“Mau jadi apa kamu kalau kebudayaan nyotek di biarkan terus” geramnya sengit. Mau generasi penjiplak ya?

Pak Ion tidak pernah meminta diboncengi murid-muridnya waktu pulang sekolah. Dengan motor bututnya yang hampir setiap hari selalu dijahili anak-anak iseng. Dia hendak membuktikan cara belajar yang paling benar adalh dengan menampilakn wibawa yang dimiliki oleh pendidik itu sendiri.

Tetapi yang paling di kagumi fitri, setip kali menyuruh muridnya untuk membeli sesuatu kalau dia sedang sibuk, Pak Ion selalu menyertakan uangnya. Bila murid itu menolak uangnya, dia akan minta tolong kepada murid lain.

Mula-mula dia memang di benci. Bukan oleh murid-muridnya saja. Bahkan juga oleh beberapa guru. Dia dianggap terlalu kaku.

Ketika baru datang disekolah itu, tidak pernah satu hari saja yang lewat tanpa kerusakan motornya. Kalau bannya tidak kempes, tentu saja kaca spionnya yang hilang. Dia malah pernah di serempet dengan mobil muridnya sendiri yang diskors karena sudah tiga kali ketahuan nyontekdan selalu terlambat masuk kelas.

Ketika dia kelihatanya semakin akrab dengan fitri dan sudah dipergoki sedang ngobrol berdua waktu istirahat, dia nyaris dikeroyok oleh murid-muridnya sendiri.

Awang, pacar fitri yang mengorganisir pengeroyokan itu baru menyesal waktu fitri menjelaskan mengapa mengapa mereka sering mengobrol berdua akhir-akhir ini.

“Kau ingat waktu beberapa minggu yang lalu aku minta ijin pada ibu Joyce untuk keluar sebentar waktu pelajaran Biologi?” tanya fitri sambil menghapus air matanya. Kau menemui dia?” geram awang yang masih meledak-ledak dibakar kemarahannya sendiri. “Aku ke WC. Sakit perut.” Disana kau ketemu dia!” Ya. Aku memang ketemu Pak Ion di WC. Kurang ajar. Bukan seperti yang kusangka.!. abis ngapain kalian disitu?. Mula-mula aku juga sampai kaget. Tidak sangka akan ketemu Pak Ion disana. Lalu kalian berdoa bersama? Ejek Awng sinis. Dia sedang terbatuk-batuk,Wang. Oh.......begitu? lantas kau yang menyeka keringatnya? Dengar dulu! Kasu menuduh kami sejelek itu.” Aku benci padanya! Guru sih begitu. Dia satu-satunya Guru yang pantas di hormati di sekolah ini, Wang!” itu kata mu. Kau masih mau dengar aku tidak? Bentak Fitri kesal.

Sampai dimana tadi? Oh ya, kau kaget melihatnya! Muka mu pasti merah karena malu. Dan kau tersipu-sipu menunduk.....” Dia juga kaget melihatku. Tapi aku lebih terkejut lagi, Wang. Sapu tangan yang dipakinya untuk menutup mulutnya waktu batuk tadi belum sempat di sembunyikannya......dan sapu tangan itu penuh dengan noda-noda darah! Kali Awang tidak menyela. Tidak mengejek. Dia hanya diam mendengarkan.

Hanya kepadaku akhirnya dia mau berterus terang. Dia mengidap tbc, Wang. Air mata mengalir deras ke pipoi Fitri. Kautahu artinya penyakit itu untuk seorang gutu!”

Dia tidak boleh lagi menjadi Guru!” seru Awang dengan mata terbelalak ketakutan. Dia sedang mengingat-ingat sudah berapa kalid ia berhadapan denga Pak Ion dan menghitung sudah berapa juta  kuman tbc yang sudah di transfer ke paru-parunya. Dia bisa menularkan penyakit itu kepada kita semua!”

Itu juga yyang menyusahkan hatinya. Dia harus lapor kepala sekolah! Kalau tidak biar kita yang lapor!” Dia pasti di hentikan, Wang!” Daripada kita kena sanatorium?”

Kau tidak mengerti. Pak Ion justru mengawatirkan kita. Pelajaran Kimia kita ketinggalan sekali. Masih banyak bahan yang belum diajarkan Pak Bemo padahal ujian sudah dekat. Cari guru lain! Aku tidak mau kelas kitaberubah menjadi sanatorium tbc.

Mencari Guru baru itu tidak gampang. Dan Guru baru perlu penyesuaian lagi. Ujian kita sudah dekat. Lebih baik nggak lulus daripada paru-paru ku bolong!” justru itu yang selalu dikeluhkan Pak Ion kepadaku. Wang. Dia bingung. Cuma kepadaku dia bisa mengadu.

Dan aku begitu sering ngobrol di dekatmu. Keluh Awang dalam hati. Entah sudah berapa banyak kuman tbc yang di paru-paru mu. Untung aku belum pernah mencium mu.

Pak Ion memang akhirnya keluar dari sekolah itu. Suatu hari dia dipanggil menghadap ke kantor kepala sekolah. Entah siapa yang mengadu. Salah seorang muridnya. Atau salah seorang rekannya sesama guru. Dia hanya meminta waktu untuk mencarikan seorang pengganti. Seorang Guru kimia yang bertanggung jawab. Selama itu dia berusaha sedapat mungkin tidak mngadakan kontak langsung dengan murid-muridnyaseperti yang selama ini dilakukanya.

Jika dia ingin batuk, dia akan menutup mulutnya baik-baik dengan sehelai sapu tangan tangan dan keluar dari kelas. Dia tidak membuang dahaknya di mana-mana. Dan dia berjanji akan berobat lebih rajin lagi.

Pak Ion memang hanya sebentar mengajrar di sekolah itu. Tetapi kesan yang di tinggalkanya sangat berbekas di hati murid-muridnya. Dalm waktu beberapa bulan saja. Dia telah melakukan  begitu banyak hal untuk mendidik murid-muridnya, jauh lebih berarti daripada yang telah dilakukan oleh guru-guru lain bertahun-tahun sebelumnya.

Di sana Pak Ion telah menerapkan wibawa seorang pendidik adalah pangkal kedisiplinan bagi anak didiknya. Sekaligus dia juga telah membuka mata rekan-rekannya, yang muda tak selalu salah. Kadang-kadang gurulah yang melopori kesalahan.

                                                ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Di Kaki Langit-Bintang Masih Bersinar



DITA hampir tidak mengenali teman-temannya sendiri. Rasanya Lina yang datang pada malam perpisahan mereka ini bukan Lina yang setiap hari duduk di sebelahnya. Bukan Lina si biang ribut di kelas III IPA Dua yang paling sering menghadap kke kantor kepala sekolah.
Tidak ada lagi rok seragam kepanjangan yang setiap saat ditarik-tariknya ke atas. Tidak ada bibir tipis yang selalu menciut-ciut kepedasan kalau mereka mencuri makan mangga di dalam kelas. Bibir itu kini dipulas merah menantang. Basah dan segar seperti bibir seorang bintang film. Seragam  lusuhnya pun sudah berubah menjadi sebuah gaun pesta yang semarak.
Penampilannya benar-benar membuat Dita menjadi minder. Apalagi pembicaraannya. “Kemana liburan nanti, Lin?” tanya Agus yang baru datang menggandeng pipit. “Ikut kita yuk,” nimbrung pipit takut tidak kebagian saluran, “Kita mau ke Bali.” “Berdua saja?!” belalak Dono seolah-olah dia yang paling suci. “Bunting lu bari tau rasa.” “Norak ah!” sembur pipit sambil memukul Dono. “Kita pergi ramai-ramai, sembilan orang, tau nggak?!” “Lho, kok nggak ngajak-ngajak? Tambah satu kan jadi sepuluh! Klop! Nggak ada yang kesepian!” “Yang kesepuluh itu mesti cewek, Bung! Makanya kita ajak Lina!” “Lo tunggu aja sampai tahun depan deh, Don!” kata Agus separuh mengejek, “Kalau kurang orang, kita kurang kita pasti tau alamatmu. Ntar deh gue calling!” “Sialan, gue Cuma dianggap cadangan!” “Cadang juga udah bagus kok!” Agus tertawa geli. “Biasanya nggak pernah kepilih!” “Kenapa sih kalian alergi banget sama dia?” sela Ita pura-pura iba. Kasihan dong Dono nggak pernah diajak. Gitu-gitu kan tampangnya lumayan buat ngusir nyamuk.”  Wah, payah kalau bawa dia. Ngutang melulu! Ngajak dia mah Cuma nyempit-nyempitintin aja!” SADIS, Dono menyeringai pahit. “Mentang-mentang gue Kasta Paria!” Gimana, Lin? Mau ikut kita nggak? Yono masih nganggur tuh. Uh, sori deh, Pit! Babe gue ngajak nengokin abang!” Lha, liburan sih di pakai buat nengok abang!  Apa serunya? Abang apa dulu nih! Siapa tahu Lina mau berpantun-pantun disana! Pulang-pulang kita dapat undangan!” Sembarangan ngomong! Ini benar-benar abang gue kok! Sedarah daging!” Nah ngapain, di tengok-tengok, Lin? Nggak bosan? Tanya dulu dong, abangnya tinggsl dimana!” Tia tersenyum mengejek. Lina sih mana mau liburan ke  Bali? Dia kan mainannya luar negri melulu” Memangnya abang mu dimana sih, Lin? Desak Pipit ingin tahu. Di Paris. Nah, betul kan apa yang aku bilang? Tia tertawa lebar. Lina mana mau liburan ke Bali kalau Babenya udah nyiapin tiket ke Paris! Diam-diam Dita menyingkir dari sana. Hatinya terasa perih. Temen-temennya sudah punya rencana untuk menikmati liburan mereka masing-masing. Orangtua mereka sudah menyiapkan hadiah untuk atas berhasiknya mereka menempuh ujian SMA. Rebcab liburan mereka sudah jelas sejelas cita-cita mereka. Sedangkan Dita? Jangankan  merencanakan mau pergi kemana liburan ini. Mau melanjutkan pelajaran kemana saja dia belum tahu. Sudah lama dia ingi jadi  Dokter. Semenjak duduk di bangku SD. Dan keinginannya makin menggelora saat adiknya meninggal karena sakit Tipus.
Seandainya ada Dokter di rumah mereka—mungkin Elina masih dapat tertolong. Seandainya dia tidak telat di obati, mungkin ususnya tidak pecah. Mungkin dia masih ada sampai sekarang. Sendainya Cuma gara-gara kurang perhatian dan kekurang tahuan Ayah dan Ibunya. Ayah sibuk mencari uang. Pergi pagi-pagi. Pulangnya sampai larut malam. Jangankan memperhatikan penyakit Elina. Makan saja kadang-kadang tidak sempat.
Ibu lain lagi. Repot mengurus rumah. Mengurus tujuh orang adik D ita yang masih kecil-kecil. Dan sibuk memutar uang belanja yang hanya sedikit aadik-adiknya tidak menangis kelaparan.  Darimana Ibu yang buta huruf itu tahu  kalau Elina kena Tipus?
Sekarang enam tahun telah berlalu. Dia telah berhasil menempuh ujian SMA—nya dengan baik. Dia sudah lulus. Tinggal memilih fakultas yang sesuai dengan keinginannya. Dan dia tidak usah berpiki dua kali seandainya Cuma nuraninya saja yang harus berbicara.
Cita-citanya sudah gemilang dia ingi jadi dokter. Dia ingin tangan inilah yang merawat orangtuanya kalau mereka sakit nanti. Dia ingi tangan ini pulalah yang akan menolong oramg-orang yang sakit seperti adiknya.
Tetapi menuntut ilmu di negeri ini bukan Cuma soal otak.  Bukan semata-mata kemampuan belajar yang di butuhkan. Dita membutuhkan biaya. Dan ayahnya suddah tua. Diambang lima puluh, karirnya tidak bertambah. Bukannya maju, malah nyaris berhenti. Macet. Padahal sebagai pegawai negeri. Sebentar lagi ayah sudah harus pensiun.
Keadaan mereka semakin sulit. Harga-harga terus di sesuaikan, entah disesuaikan dengan apa. Yang jelas, dari dulu sampai sekarrang tak pernah sesuai dengan gaji ayah. Adik-adiknya masih enam orang lagi. Yang paling besar baru duduk di kelas satu SMA. Laki-laki pula. Minimal dia harus menyelesaikan SMA nya. Kalau tidak, bagaimana dia mencari uang kalau ijazah SMA saja dia tidak punya? Adiknya yang kecil memang sudah dudk di kelas satu SMA. Tapi dia masih memerlukan beberapa tahun lagi unuk dapat bekerja. Yang dua lagi malah masih duduk di bangku SMP. Sisanya di SD. Masih kecil-kecil. Belum ada yang diharapkan membantu ayah mencari uang. Lalu siapa lagi yang bisa di harapkan selain Dita? Lho, kok udah  nangis, Ta? Goda Lina yang melihat Dita pergi diam-diam dan kepala tunduk. “Perpisahannya kan belum  mulai.”  Dia tidak menjawab. Dia hanya menyingkir ke sudut tanpa mengangkat wajahnya sekilat pun. Diam-diam Lina mengikutinya. Kamu juga jepingin ikut ke Bali,Ta? Bisik Lina hati-hati. Dita menggeleng sedih. Aku bukan memikirkan, liburan, Lin. Lalu apa yang kau sedihkan?-----aku bingung mu kemana habis SMA ini.-----memangnya mau melanjutkan ke mana Tan?
Dita menggeleng kepalanya dan menunduk semakin dalam lagi. Coba-coba saja ikut ujian saringan PP I, Ta. Otakmu kan encer. Siapa tahu di terima. Di universitas negeri kan biayanya ringan.------Barangkali aku harus kerja, Lin. Orangtua ku sudah tidak bisa membiayai. -----tapi kamu mau kerja apa, Ta? Laku  apa anak SMA semacam  kita? Dimana mereka mau  menempatkan. Tenaga lulusan SMA? Sarjana saja banyak yang  nganggur kok! Paling-paling jadi sales girl!” Jadi apa pun Lin, paling tidak aku sudah dapat membantu orangtua ku. Dan tidak menjadi beban mereka lagi. Adik-adikku banyak. Lin. Semuanya masih perlu biaya. Tapi sayang kan bakat mu terbuang sia-sia begitu. Kamu kan pintar,Ta. Aku saja yang bodoh kepingin sekolah. Bersyukurlah kepada tuhan karena kamu masih punya kesempatan untuk memilih cita-citamu sendiri Lin. Sahut Dita lirih. Berterima kasilah juga kepada orangtua mu yang telah memberikan kesempatan itu kepadamu. Kalau kamu sudah kuliah nanti, jangan lupa, begitu banyak orang  yang merindukan tempat mu disana. Pergunakanlah kesempatanmu sebaik-baiknya. Kalau kamu gagal, ingatlah, kamu bukan hanya berhutang kepada orang tua mu, kamu juga berhutang kepada anak  lain yang harusnya dapat menggantikan tempatmu.
Kamu sendiri mau kemana , Ta? Dita tak menjawab, Dia memalingkan wajahnya ke jendela. Di lluar, sepotong langit hitam membentang gelap. Kegelapan yang tidak menjanjikan apa-apa kecuali kesuraman. Seperti itu jugalah masa depannya. Tetapi Dita tidak mau berputus asa. Di sana, di kaki langit yang pekat, mungkinkah sebuah bintang masih bersinar? Jauh di batas cakrawala, cita-citanya masih mengintai, meskipun dia sendiri tidak tahu entah kapan dia baru dapat meraihnya.
Mungkinkah suatu hari nanti, kalau dia berhasil membiayai studinya dengan penghasilannya sendiri? Mungkinkah dia bisa belajar sambil bekerja? Siapa tahu suatu hari nanti, cita-citanya dapat tercapai, meskipun jalan ke sana penuh dengan onak duri!
                                                ****************