Rabu, 30 Mei 2012

Seuntai Sajak Buat Kekasih





WAH, Wilda betul-betul bingung. Nah, coba saj bayangkan! Besok ada ulangan bahasa inggris. Tapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Bahasa inggri di SMA kan tidak sukar. Sederhana. Itu-itu juga. Jadi jangan heran kalau seorang lulusan SMA mesti dites lagi bahasa inggris kalau mau melamar pekerjaan. Soalnya biar nilai bahasa inggrisnya delapan, mereka tetap tidak bisa ngomong bahasa inggris. Paling-paling dengan modal bahasa inggris sebegitu, mereka Cuma bisa nonton video. Jaws. James Bond. Twilight. Transfoemer. Emanuelle. Itu pun main tebak saja!. Tapi begitulah. Buat wilda, Bahasa inggris bukan problem. Yang bikin pusing kepalanya justru Bahasa indonesia! Entah darimana Pak Dar, guru Bahasa indonesianya yang simpatik mendapat ide gila ini. Bayangkan! Dia memilih tujuh orang siswi yang paling top nilai Bahasa indonesia untuk membaca puisi di depan kelas! Sadis nggak?

            Wilda memang ngetop dalam pelajaran yang satu ini. Dalam urusan Bahasa, dia memang Empunya kelas III IPS. Tapi baca sajak? Waduh! Apalagi sajaknya mesti bikinan sendiri! Wah, kiamat!

            Dia memang senang puisi. Tapi tentu saja ciptaan orang lain. Ciptaan penyair-penyair terkenal.protes Wilda. Kamu punya bakat. Saya tahu itu. Tapi kalau kau tak pernah berani memupuk bakatmu, sampai kapan kamu bisa maju.? Ah, memang percuma memprotes Guru. Selama kamu jadi siswa, perintah guru adalah undang-undang. Tidak bisa dibantah. Jadi terpaksa Wilda mengorek-ngorek puisi simpanannya. Mencari yang kira-kira cocok untuk dipamerkan di depan kelas.

            Nah,dari tiga belas buah sajak satu eksemplar yang sudah dua tahun lebih nongkrong di laci meja tulisnya yang paling bawah, ada satu yang paling di sukai Wilda. Soalnya yang satu inisentimentil dan .....,kena! Tentu saja Cuma kena untuk dirinya sendiri. Untuk Pak Dar  yang anak-anaknya sudah setengah  lusin mungkin ini terlalu cengeng. Dangkal. Tidak bermutu. Tapi.....,ah, sudalah. Daripada bengong mendingan dia mulai saja menghapal. Mana besok ada ulangan bahasa inggris lagi! Biar gampang kan dia mesti belajar juga.malu kalau dapat empat. Dan disitulah enaknya membaca sajak buatan sendiri. Sudah menghapalnya cepat, kalau salah pun tidak ada yang tahu! Lain kali dia membawakan sajaknya Chairil Anwar, salah baca satu koma saja seluruh kelas sudah tahi! Ketika menghapal sajaknya, mau tidak mau kenangan Wilda kembali kemalam itu. Malam dua tahun malam  itu hancur berantakan dengan datangnya pertengkeran sengit diantara mereka berdua. Padahal permulaanya sederhana sekali.

            Wilda ingin mereka mengantarkan Emi pulang dulu. Saat itu hari sudah gelap. Pukul delapan cukup malam bagi seorang gadis yang nonto sendirian. Memang Cuma kebetulan kalau disana mereka bertemu dengan Emi. Mereka baru keluar dari bioskop ketika Emi menegur duluan. Dan melihat Emi seorang diri, Wilda jadi kasihan. Dia tahu rumah Emi cukup jauh. Di dearah yang rawan pula. Kita antar Emi dulu ya , Han, pinta Wilda kepada Hanafi. Kasihan dia pulang sendiri. Taksi banyak. Bajaj banyak, kenapa kita yang mesti nganterin dia? Protes Hanafi kesal. Tentu saja dengan separuh berbisik. Kuatir kedengaran Emi. “Nggak pantas kan malam-malam gini dia kita biarkan pulang sendiri, Han? Entar ada yang  iseng. “Sebodo amat! Dia bisa datang sendiri, kenapa nggak bisa pulang sendiri?”

            Datangnya kan tadi masih siang, Han. Sekarang sudah malam.filmnya panjang sih.” Takut apa sih? Kalau di culik juga pasti dipulangin lagi.tampang kaya bomber gitu, Dracula juga kabur! Boro-boro ada yang isengin!” Wah, kalau soal menghina orang,Hanafi memang rajanya. Mentang-mentang cakep, seenaknya saja dia mencela orang! Wilda sendiri kadang-kadang jengkel. Dia tidak apa Hanafi masih mau jadi pacarnya seandainya tubuhnya gembrot seperti Emi. Hanafi memang tampan. Ganteng. Penuh perhatian. Tapi mulutnya! Duh, jahatnya.! Sekali-sekali mesti ada orang yang mengajarnya.dia sudah harus belajar menghargai orang lain. Jangan seenaknya saja mencela!dan kalau dan kalau ada orang yang sanggup mengajarnya, Wilda yakin dialah orang itu! Siapa lagi yang  mau dituruti Hanafi kalau bukan Wilda? Sama Bapaknya pun dia tidak takut!

            Bukan salah Wilda kalu akhirnya pelajaran itu diakhiri dengan pertengkaran. Kata orang, pertengkaran diantara dua orang saling mencintai adlah cara untuk menambah eratnya cinta mereka. Tapi bagi Wilda dan hanafi, pertenkaran itu malah membuat hubungan mereka menjadi hancur berantakan! Hanafi tidak pernah lagi muncul di rumah Wilda. Jangankan muncul, menelpon tidak! Padahal setiap kali telpon berdering, Wilda sudah melompat menyambarnya. Dan setiap kali ada telpon untuknya, jantungnya hampir putus karena berdebar terlalu cepat. Tetapi telpon yang ditunggunya tidak muncul-muncul juga.

            Sia-sia menunggu suara Hanafi di sebrang sana. Sama sia-sianya menunggu pak Pos yang akan mengantarkan surat Hanafi. Tidak surat buat Wilda. Karena Hanafi memang tidak pernah menulis surat! Sering Wilda untuk mengalah saja. Menelpon duluan. Tidak tahan rasanya didera rindu begini. Entah sudah berapa kali di putarnya nomor telpon Hanafi .....8.....8.....2....6......tapi dia tak sanggup lagi memutar nomor berikutnya. Ada rasa malu menikam hatinya. Membuat mukanya merah walaupun tidak ada orang disana. Bagaimana kalau Hanafi menolaknya? Bagaimana kalau dia sudah menemukan orang lain? Wilda toh tidak apa yang terjadi di sekolah Hanafi. Sekolah mereka berjauhan. Dan disana banyak siswi yang cakep-cakep. Lebih menarik daripada wilda. Siapa tahu Hanafi sudah kecantol salah satu diantara mereka?

                                                *******************************

            Tepuk sorak riuh menerbangkan Wilda kembali ke tempat bangkunya. Dia merasa sangat malu. Sekaligus bangga. Sambutan teman-temannya begitu spontan. Begitu semarak. Ah, Wilda tidak menyangka begitu meriah teman-temannya menanggapi pembacaan sajaknya. Beberapa diantara mereka malah meminjam naskah sajak itu dan menyalinya! Ketika sajak itu kembali ke meja nya, kertas kosong dibawahnya sudah penuh dengan  tulisan teman-temannya. Ada yang memuji. Ada yang menasehati. Malah ada juga yang ikut menangisi kisahnya!

            Tetapi sambutan paling berkesan datang dua hari kemudian. Pada suatu sore di beranda rumahnya. Hanafi muncul begitu saja disana. Wilda hampir tidak mempercayai matanya sendiri ketika melihat Hanafi datang dengan seikat mawar merah ditangannya.tepat seperti yang dikhayalkannya setiap malm. Persisi seperti yang ditumpahkan nya diatas sajaknya.! Hai” sapa Hanafi membuyarkan pesona yang masih menyelimuti Wilda. Jadi dia benar-benar Hanafi, pikir Wilda antara kaget dan haru. Dia benar-benar datang kerumah ku! Tepat seperti yang selalu kuimpikan tiap malam. Tapi kali dia menegurku. Dia bicara. Dia benar-benar Hanafi. Dan ini bukan mimpi! “Apa kabar, Wilda? Tegur Hanafi sekali lagi. Lebih lembut. lebih hangat. “Ba....Baik....wilda menggagap. Dia sudah jauh berubah, desah Wilda dalam hati. Penampilanya. Perawakanya.pakaiannya. dia tampak lebih dewasa. Lebih meyakinkan. Tapi matanya tidak berubah. Cara menatapnya tidak berubah. Seyumnya pun tidak berubah! Dia masih tetap Hanafi yang dulu! Apa yang membawa mu kemari, Han? Ada getar dalam suara Wilda. Ah, itu pasti getar hatinya. Getar-getar bahagia yang membias ke dalam suaranya. Percuma ditutup-tutupi. Hanafi pasti sudah membaca gelepar-gelepar kerinduan yang melonjak-lonjak dimatanya.

            Sajakmu, sahut hanafi sambil tersenyum. Ah, senyum yang manis itu,! Senyum yang selalu dirindukannya.! Sajakku? Kalau Wilda terbelalak, kali ini benar-benar terkejut. Sajakmu yang kau bacakan di depan  kelas dua hari yang lalu. Itu sajak untukku kan? Tapi

            Sajak itu yang membawaku ke mari. Karena sajak mu melenyapkan keraguan yang telah dua tahun menyita keberanian ku untuk datang kesini. Sajak itu mengungkapkan perasaanmu yang sebenarnya kepadaku ,bukan? Kau masih tetap menunggu ku dan mengharapkan kedatangan ku kembali! Eh, apa aku salah lagi?

            Merah paras Wilda mendengarnya. Tapi merahnya pipinya saat itu pasti bukan karena malu. Merah bisa berarti gembira. Bahagia. Cerah. Dan seperti itu pulalah hati Wilda sekarang. “Tapi aku tidak mengerti kenapa sajak ku bisa sampai kepadamu?” Emi menyalin untukku. Emi? Temanmu yang montok itu. Hanafi tersenyum. Kalau kamu tidak cemburu, terus terang kukatakn dia sudah lebih langsing dari dua tahun yang lalu.”

            Wilda,berkata “Kritikmu membuat dia berdiet lebih ketat.” Dan kritikku hampir membuat aku kehilangan kamu. Kamu harus mulai belajar menghargai orang lain, Han . itu sudah kamu katakan dua tahun yang lalu. Tapi buktinya baru kamu liat sekarang! Walaupun tidak cakep, Emi baik. Dia tidak mendendam walaupun kau sering mencelanya.

            Dua tahun yang lalu pun aku sudah insaf, kamu yang benar. Cuma aku malu kemari lagi. Takut di tolak. Untung ada yang mennyampaikan sajakmu kepadaku. Kalau tidak, bagaimana aku tahu kau masih teru menantikan diriku?  Hanafi mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Perlahan tapi pasti Wilda menyambutnya.

                     



    #########################################################

0 komentar: