WAH,
Wilda betul-betul bingung. Nah, coba saj bayangkan! Besok ada ulangan bahasa
inggris. Tapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Bahasa inggri di SMA kan tidak
sukar. Sederhana. Itu-itu juga. Jadi jangan heran kalau seorang lulusan SMA
mesti dites lagi bahasa inggris kalau mau melamar pekerjaan. Soalnya biar nilai
bahasa inggrisnya delapan, mereka tetap tidak bisa ngomong bahasa inggris.
Paling-paling dengan modal bahasa inggris sebegitu, mereka Cuma bisa nonton
video. Jaws. James Bond. Twilight. Transfoemer. Emanuelle. Itu pun main tebak
saja!. Tapi begitulah. Buat wilda, Bahasa inggris bukan problem. Yang bikin
pusing kepalanya justru Bahasa indonesia! Entah darimana Pak Dar, guru Bahasa
indonesianya yang simpatik mendapat ide gila ini. Bayangkan! Dia memilih tujuh
orang siswi yang paling top nilai Bahasa indonesia untuk membaca puisi di depan
kelas! Sadis nggak?
Wilda memang ngetop dalam pelajaran
yang satu ini. Dalam urusan Bahasa, dia memang Empunya kelas III IPS. Tapi baca
sajak? Waduh! Apalagi sajaknya mesti bikinan sendiri! Wah, kiamat!
Dia memang senang puisi. Tapi tentu
saja ciptaan orang lain. Ciptaan penyair-penyair terkenal.protes Wilda. Kamu
punya bakat. Saya tahu itu. Tapi kalau kau tak pernah berani memupuk bakatmu,
sampai kapan kamu bisa maju.? Ah, memang percuma memprotes Guru. Selama kamu
jadi siswa, perintah guru adalah undang-undang. Tidak bisa dibantah. Jadi
terpaksa Wilda mengorek-ngorek puisi simpanannya. Mencari yang kira-kira cocok
untuk dipamerkan di depan kelas.
Nah,dari tiga belas buah sajak satu
eksemplar yang sudah dua tahun lebih nongkrong di laci meja tulisnya yang
paling bawah, ada satu yang paling di sukai Wilda. Soalnya yang satu
inisentimentil dan .....,kena! Tentu saja Cuma kena untuk dirinya sendiri.
Untuk Pak Dar yang anak-anaknya sudah
setengah lusin mungkin ini terlalu
cengeng. Dangkal. Tidak bermutu. Tapi.....,ah, sudalah. Daripada bengong
mendingan dia mulai saja menghapal. Mana besok ada ulangan bahasa inggris lagi!
Biar gampang kan dia mesti belajar juga.malu kalau dapat empat. Dan disitulah
enaknya membaca sajak buatan sendiri. Sudah menghapalnya cepat, kalau salah pun
tidak ada yang tahu! Lain kali dia membawakan sajaknya Chairil Anwar, salah
baca satu koma saja seluruh kelas sudah tahi! Ketika menghapal sajaknya, mau
tidak mau kenangan Wilda kembali kemalam itu. Malam dua tahun malam itu hancur berantakan dengan datangnya
pertengkeran sengit diantara mereka berdua. Padahal permulaanya sederhana
sekali.
Wilda ingin mereka mengantarkan Emi
pulang dulu. Saat itu hari sudah gelap. Pukul delapan cukup malam bagi seorang
gadis yang nonto sendirian. Memang Cuma kebetulan kalau disana mereka bertemu
dengan Emi. Mereka baru keluar dari bioskop ketika Emi menegur duluan. Dan
melihat Emi seorang diri, Wilda jadi kasihan. Dia tahu rumah Emi cukup jauh. Di
dearah yang rawan pula. Kita antar Emi dulu ya , Han, pinta Wilda kepada
Hanafi. Kasihan dia pulang sendiri. Taksi banyak. Bajaj banyak, kenapa kita
yang mesti nganterin dia? Protes Hanafi kesal. Tentu saja dengan separuh
berbisik. Kuatir kedengaran Emi. “Nggak pantas kan malam-malam gini dia kita
biarkan pulang sendiri, Han? Entar ada yang
iseng. “Sebodo amat! Dia bisa datang sendiri, kenapa nggak bisa pulang
sendiri?”
Datangnya kan tadi masih siang, Han.
Sekarang sudah malam.filmnya panjang sih.” Takut apa sih? Kalau di culik juga
pasti dipulangin lagi.tampang kaya bomber gitu, Dracula juga kabur! Boro-boro
ada yang isengin!” Wah, kalau soal menghina orang,Hanafi memang rajanya.
Mentang-mentang cakep, seenaknya saja dia mencela orang! Wilda sendiri
kadang-kadang jengkel. Dia tidak apa Hanafi masih mau jadi pacarnya seandainya
tubuhnya gembrot seperti Emi. Hanafi memang tampan. Ganteng. Penuh perhatian.
Tapi mulutnya! Duh, jahatnya.! Sekali-sekali mesti ada orang yang mengajarnya.dia
sudah harus belajar menghargai orang lain. Jangan seenaknya saja mencela!dan
kalau dan kalau ada orang yang sanggup mengajarnya, Wilda yakin dialah orang
itu! Siapa lagi yang mau dituruti Hanafi
kalau bukan Wilda? Sama Bapaknya pun dia tidak takut!
Bukan salah Wilda kalu akhirnya
pelajaran itu diakhiri dengan pertengkaran. Kata orang, pertengkaran diantara
dua orang saling mencintai adlah cara untuk menambah eratnya cinta mereka. Tapi
bagi Wilda dan hanafi, pertenkaran itu malah membuat hubungan mereka menjadi
hancur berantakan! Hanafi tidak pernah lagi muncul di rumah Wilda. Jangankan
muncul, menelpon tidak! Padahal setiap kali telpon berdering, Wilda sudah
melompat menyambarnya. Dan setiap kali ada telpon untuknya, jantungnya hampir
putus karena berdebar terlalu cepat. Tetapi telpon yang ditunggunya tidak
muncul-muncul juga.
Sia-sia menunggu suara Hanafi di
sebrang sana. Sama sia-sianya menunggu pak Pos yang akan mengantarkan surat
Hanafi. Tidak surat buat Wilda. Karena Hanafi memang tidak pernah menulis
surat! Sering Wilda untuk mengalah saja. Menelpon duluan. Tidak tahan rasanya
didera rindu begini. Entah sudah berapa kali di putarnya nomor telpon Hanafi
.....8.....8.....2....6......tapi dia tak sanggup lagi memutar nomor
berikutnya. Ada rasa malu menikam hatinya. Membuat mukanya merah walaupun tidak
ada orang disana. Bagaimana kalau Hanafi menolaknya? Bagaimana kalau dia sudah
menemukan orang lain? Wilda toh tidak apa yang terjadi di sekolah Hanafi.
Sekolah mereka berjauhan. Dan disana banyak siswi yang cakep-cakep. Lebih
menarik daripada wilda. Siapa tahu Hanafi sudah kecantol salah satu diantara
mereka?
*******************************
Tepuk sorak riuh menerbangkan Wilda
kembali ke tempat bangkunya. Dia merasa sangat malu. Sekaligus bangga. Sambutan
teman-temannya begitu spontan. Begitu semarak. Ah, Wilda tidak menyangka begitu
meriah teman-temannya menanggapi pembacaan sajaknya. Beberapa diantara mereka
malah meminjam naskah sajak itu dan menyalinya! Ketika sajak itu kembali ke meja
nya, kertas kosong dibawahnya sudah penuh dengan tulisan teman-temannya. Ada yang memuji. Ada
yang menasehati. Malah ada juga yang ikut menangisi kisahnya!
Tetapi sambutan paling berkesan
datang dua hari kemudian. Pada suatu sore di beranda rumahnya. Hanafi muncul
begitu saja disana. Wilda hampir tidak mempercayai matanya sendiri ketika
melihat Hanafi datang dengan seikat mawar merah ditangannya.tepat seperti yang
dikhayalkannya setiap malm. Persisi seperti yang ditumpahkan nya diatas
sajaknya.! Hai” sapa Hanafi membuyarkan pesona yang masih menyelimuti Wilda.
Jadi dia benar-benar Hanafi, pikir Wilda antara kaget dan haru. Dia benar-benar
datang kerumah ku! Tepat seperti yang selalu kuimpikan tiap malam. Tapi kali
dia menegurku. Dia bicara. Dia benar-benar Hanafi. Dan ini bukan mimpi! “Apa
kabar, Wilda? Tegur Hanafi sekali lagi. Lebih lembut. lebih hangat.
“Ba....Baik....wilda menggagap. Dia sudah jauh berubah, desah Wilda dalam hati.
Penampilanya. Perawakanya.pakaiannya. dia tampak lebih dewasa. Lebih meyakinkan.
Tapi matanya tidak berubah. Cara menatapnya tidak berubah. Seyumnya pun tidak
berubah! Dia masih tetap Hanafi yang dulu! Apa yang membawa mu kemari, Han? Ada
getar dalam suara Wilda. Ah, itu pasti getar hatinya. Getar-getar bahagia yang
membias ke dalam suaranya. Percuma ditutup-tutupi. Hanafi pasti sudah membaca
gelepar-gelepar kerinduan yang melonjak-lonjak dimatanya.
Sajakmu, sahut hanafi sambil
tersenyum. Ah, senyum yang manis itu,! Senyum yang selalu dirindukannya.!
Sajakku? Kalau Wilda terbelalak, kali ini benar-benar terkejut. Sajakmu yang
kau bacakan di depan kelas dua hari yang
lalu. Itu sajak untukku kan? Tapi
Sajak itu yang membawaku ke mari. Karena
sajak mu melenyapkan keraguan yang telah dua tahun menyita keberanian ku untuk
datang kesini. Sajak itu mengungkapkan perasaanmu yang sebenarnya kepadaku
,bukan? Kau masih tetap menunggu ku dan mengharapkan kedatangan ku kembali! Eh,
apa aku salah lagi?
Merah paras Wilda mendengarnya. Tapi
merahnya pipinya saat itu pasti bukan karena malu. Merah bisa berarti gembira.
Bahagia. Cerah. Dan seperti itu pulalah hati Wilda sekarang. “Tapi aku tidak
mengerti kenapa sajak ku bisa sampai kepadamu?” Emi menyalin untukku. Emi?
Temanmu yang montok itu. Hanafi tersenyum. Kalau kamu tidak cemburu, terus terang
kukatakn dia sudah lebih langsing dari dua tahun yang lalu.”
Wilda,berkata “Kritikmu membuat dia
berdiet lebih ketat.” Dan kritikku hampir membuat aku kehilangan kamu. Kamu
harus mulai belajar menghargai orang lain, Han . itu sudah kamu katakan dua
tahun yang lalu. Tapi buktinya baru kamu liat sekarang! Walaupun tidak cakep,
Emi baik. Dia tidak mendendam walaupun kau sering mencelanya.
Dua tahun yang lalu pun aku sudah
insaf, kamu yang benar. Cuma aku malu kemari lagi. Takut di tolak. Untung ada yang
mennyampaikan sajakmu kepadaku. Kalau tidak, bagaimana aku tahu kau masih teru
menantikan diriku? Hanafi mengulurkan
tangannya sambil tersenyum. Perlahan tapi pasti Wilda menyambutnya.
#########################################################
0 komentar:
Posting Komentar