PASTI ada persoalan yang sangat penting. Pikir Lestari sambil duduk hati-hati di hadapan orangtuanya. Kalu tidak, Ayah-Ibu tidak begini serius memanggil ku. Ada yang ingin Ayah bicarakan dengan kau, Tari, kata Ayah sambil mematikan rokoknya. Mengenai dirimu. Tidak biasanya, pikir Tari heran. Biasanya dia hanya membicarakan Marni. Kemarin Dokter Joko membawa orangtuanya kemari. Melamar Marni. Karena Marni tidak keberatan. Ayah pun tidak bisa menolak. Mereka akan segera menikah. Tapi itu bukan urusan ku, pikir Tari kesal. Kapan mereka baru mau berhenti membicarakan Marni dan menoleh kepada ku.? Kalau menurut urutan umur, kau yang seharusnya menikah lebih dahulu, Tari, sambar Ibu cepat-cepat, ketika di lihatnya dahi Tari mulai berkerut. Dan Ayah tidak mau mendengar segala macam omong kosong., seolah-olah kami menelantarkan engkau karena engkau hanya anak angkat.” Jadi itulah persoalanya, keluh Tari sambil menunduk.
Dokter Joko tidak dapat menunggu
terlalu lama, Tari. Dia harus segera ke daerah untuk menjalankan tugasnya. Ke
daerah, teriak Tari dalam hati. Sungguh dia tidak dapat membayangkan Marni yang
demikian manja dan pesolek sanggup hidup sederhana mendampingi suaminya di
daerah! Kau belum memikirkan jodoh mu, Tari? Tanya Ibu lemah lembut. Temanmu
yang sering kemari itu, siapa ya namanya , Ibu lupa? Adi, sahut Tari tersendat.
O ya.... Adi, ada secercah sinar mengintai dari balik mata Ibunya. Dia cukup
memenuhi syarat, kan? Maksud Ibu, dia cukup ganteng, sopan, sabar dan.....,Ibuu
dengar sebentar lagi dia akan memperoleh gelarnya. Memang, pikir Tari jemu. Adi
memang baik, sopan, ganteng. Tapi.........,,dia belum pernah melamarku, bicara soal cinta saja belum
pernah! Lalu darimana aku harus mulai?
Semakin dekat dengan hari pernikahan
Marni, semakin tebal mendung yang menyelimuti wajah Lestari.
Persiapan-persiapan pesta itu
seolah-olah berlomba dengan niatnya untuk
mendapatka seorang suami. Alangkah
malunya jika sampai hari
pernikahan Marni nanti, dia belum
juga berhasil membawa seorang laki-laki
ke hadapan oang tuanya.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Saya tidak yakin Marni bisa sanggup
hidup di daerah. Sudah tiga kali Tari memancing-mancing reaksi Adi. Tetapi lelaki dungu itu....,oh! Barangkali
tak ada tempat terluang lagi di otaknya., kecuali untuk rumus-rumus kimianya!
Ya , saya dengar dia mau menikah, sahut Adi tanpa perasaan apa-apa di wajahnya.
Dengan dokter Joko, kan? Oh, kau tahu banyak tentang Marni ya? Desah Tari
dengan sekelumit rasa tidak enak di hatinya. Dia sendiri yang cerita padamu?
Saya kira Marni tidak menyukai laki-laki seperti dia. Tari merasa ragu,
benarkah dia mendengar suara cemburu
dalam suara Adi. Dia pilihan orangtua mu, kan? Bagaimanapun , gerutu Tari
mengkal. Saya mengagumi keberaniannya. Tidak mudah melamar gadis seperti Marni. Tapi Joko berani mencoba. Dia tidak
menunggu sampai Marni menyerahkan diri kepadanya. Saya benci laki-laki yang
penakut. Yang Cuma menunggum menunggu saja sampai tua. ! sampai gadis yang
dicintainya di ambil orang!
Tentu sahut Adi tanpa mengetahui
kemana arah kata-kata Tari. Joko punya modal untuk itu. Dia dokter, ayahnya
pejabat tinggi, dan ibunya direktris dua perusahaan yang bonafid. Kalau kau
menunggu sampai punya modal, geram Tari tanpa dapat menahan dirinya lagi. “Kau
sudah kehabisan jalan! Sampai berkarat gadis mu menunggu, kau belum sempat juga
melamarnya!” Adi memandang , Tari dengan keheranan-heranan. Belum pernah di
lihat gadis itu sesengit ini. Biasanya dia begitu tenang. Begitu sabar.
Dan.....,begitu menyejukan. Tetapi hari ini....,ahmengapa dia hari ini?
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
“Kau
sedang menunggu seseorang,” kata Marni. Suaranya tajam menyelidik. Dan matanya
......,oh, mata yang indah itu! Tarri benci melihatnya. Mata itu demikian
hidup, berbinar-binar, seolah-olah sejuta bintang mengintip diana. Lebih-lebih
sekarang. Ketika rasa ingin tahu yang berlebihan membuat mata itu lebih
bersinar lagi. Bukan urusanmu, sahut Tari dingin. Bulan depan kau menikah. Tak
pantas lagi kau mengintip-intip pacar orang. Marni tercenganng sedetik. Tapi di
detik lain, tawanya meledak, keras. Cerah. Mengguncang-guncang bahu dan dada
nya yang padat berisi itu. Katanya di sela-sela tawanya. Sekarang aku tahu
sebabnya! Si tolol itu! Adi belum melamarmu juga ya? Seharusnya Ibu tak perlu
cerita kepadanya, geram Tari dengan muka
yang merah padam. Ibu selalu membuat aku malu! Jangan takut anak manis, ! Marni
mencubit pipinya. Tari mengelak dengan sengit. Dia selalu muak di perlakukan
seperti anak kecil begini. Aku bisa menolong mu. Bicara dengan Romeo mu yang
hampir pikun itu, mau? Terima kasih, sahut Tari ketus. Aku sudah cukup
berterima kasih kalau kau lekas-lekas
menyingkir dari sini. Sekarang. Sebentar lagi tamu ku datang. Tamu? Belalak
Marni heran. Sudah berhenti tawanya. Tamu istimewa rupanya , ya? Tamu siapa,
Tari? Desak ibu yang tiba-tiba muncul dari dalam. Kenapa tidak kau katakan pada
Ibu? Lihat, mebel kita sudah begini kotor! Celaka, berungut Tari kesal. Ibu
selalu muncul disaat yang tidak aku harapkan. Dan Ibu selalu mencuri dengar
percakapan kami! Sebenarnya tidak ingin saya katakan, katanya segan. Seorang
teman dari surabaya. Katanay mau mampir sebentar. Kau punya teman di surabaya?
Belalak Marni makin heran. Sahabat penaku, “ sahut Tari setengah terpaksa.
Sahabat pena? Marni mebeliak lebih lebar lagi. Tari mengeluh dalam hati. Dalam
keadaan sejelek-jeleknya pun, Marni masih tetap cantik. Beruntung benar menjadi
orang cantik. Mulut yang terlalu lebar buat orang lain, malah sexy bila jadi
mulutnya.! Kau tak pernah bilang punya sahabat pena! Buat apa bilang? Jadi
sengaja kau rahasiakan! Tentu, sahut Tari terus terang. Takut keduluan lagi
olehmu. Sengaja aku pakai alama rumah temanku. Sudalah, potong Ibu tak sabar.
Temanmu itu, yang mau datang nanti, siapa namanya Tari? Paul. Tari
menghembuskan sepotong nama itu bersama hembusan napasnya.
Nah, Paul harus kita undang makan di
sini! Kata Ibu...., ah, kenapa mesti repot-repot begini? Dia teman biasa kok!
Maksud saya.... Ibu tahu maksudmu!
Potong ibu pula. Kalau kau tak punya keberanian, sampai kapan kau mau menunggu?
Kau harus menunggu sampai ada pria yang terpaksa menoleh kepadamu karena sudah tidak ada pilihan lain? Sudalah,
sekarang kau pilih pakaian yang terbaik di lemari mu, kalau perlu kau boleh
pinjam baju Marni...., ah, tidak. Kau beli saja baju baru di toko.! Aku ikut!
Sambar Marni gembira. Aku bisa membantu memilihkan baju yang cocok untuk
kulitmu yang berwarna tembaga! Tidak, potong Ibu tegas. Kau pergi pesan makanan ke rumah makan di sebrang. Percuma
melawan perintah Ibunya. Percuma mencegah kehendak seorang Ibu yang rela
melakukan apa saja demi memperoleh menantu yang di idam-idamkannya. Lebih baik
dia lekas-lekas pergi mencari baju
daripada membuang waktu bersih tegang leher lebih lama lagi. Dan ketika
pulang, Tari menjadi amat heran. Makanan telah terhidang lengkap di atas meja
makan. Ayahh telah menunggu dengan tidak sabar di kepala meja. Dan Ibu telah
tiga kali mengintai keluar dari balik jendela. Tetapi yang di tunggu-tunggu
belum muncul juga.! Pukul berapa katanay adia mau datang, Tari. Katanaya
sekitar pukul sepuluh, Bu, sahut Tari antara sedih dan malu. Sekarang sudah
hampir pukul dua belas,dumal Ayah sambil menguap. Kalau belum apa-apa sudah
tidak menepati janji begini....” sudalah! Potong Ibu segera. Jangan menggerutu
terus. Barang kali ada halangan di jalan.
Dari tadi si Marni tidak kelihatan,
kata Ayah tiba-tiba. Di mana dia? Kata si Minah pergi dengan temannya . waktu
Marni pulang beli makanan tadi, temannya sudah menunggu di sini. Sebulan lagi
menikah, masih kau ijin kan dia
keluyuran dengan teman-temannya? Mana aku tahu? Balas Ibu kesal. Tadi
kan aku pergi menjemput mu ke kantor. Telepon kita rusak, tidak bisa menghubungi mu lewat
telepon! Dan mereka mulai lagi mempertengkarkan Marni. Membicarakan marni.
Marni. Marni! Lupa kepada Lestari, yang duduk salah, berdiri pun salah. Lupa
kepada Lestari yang dengan berlinang air mata berdoa dari dalam kamarnya, semoga
ada angin yang menghembuskan Paul kerumahnya. Sia-sia. “Paul tidak akan pernah
muncul. Tentu saja Tari tak pernah berpikir, mimpi pun tidak, Paul telah datang
kerumahnya dan bertemu dengan Marni!” Merasa malu bertemu muka dengan orang
tuanya, Lestari menghindari dia dengan mengurung diri berhari-hari di dalam
kamarnya.sampai malam itu, tiga hari
sebelum pernikahan Marni, ayah-ibunya menerjang masuk kedalm kamarnya tanpa
mengetuk pintu lagi! Ayah ingi bicara, Tari! Suara ayah gemetar di desak amarah
yang meluap. “So....., soal apa, ayah?” Tanya Tari gugup. Ngeri melihat mata ayahnya
yang merah berkilat dijilat api kemarahan. Sia-sia di menerka dosa apa yang
telah di perbuatnya.
“Kau harus menolong kami, Tari. Kau
harus menutup malu ini.!” Tari masih tertegun
bingung ketika ibunya memeluk dia sambil menangis. Marni kabur, Tari! Dia mengirim
surat dari ....,dari surabaya? Sura....baya?? anak celaka itu minta kita
membatalkan pernikahan! Geram ayah sengit. Tapi kelurga Santoso tidak mau
menerima alasan kita, Tari.” Seluruh keluarga mereka telah lengkap berkumpul di
jakarta. Mereka tidak peduli Joko akan menikah dengan siapa, pokoknya
pernikahan harus tetap berlangsung...., dan kau...,dan kau telah di setujui
untuk....,untuk menggantikan adik mu....,” Tari tertegun. Menikah? Dengan Joko?
Dengan calon suami adiknya? Tangisnya baru meledak ketika kesadaran akan
nasibnya perlahan-lahan mulai menjalar ke otaknya. Duli Marni selalu memberikan pakaian-pakaian
bekasnya, pakaian-pakaian yang sudah tidak di sukainya kepada Tari. Dan
sekarang....,sekarang bahkan dia memberikan calon suaminya, calon suami yang
tidak di sukainya, untuk Lestari. Alangkah hinanya! Seperti tukang loak yang
selalu menerima barang-barang bekas! Dan dia harus puas denga sisa-sisa
adiknya! “Tari memang Cuma anak pungut, Ayah, ratapnya di sela-sela tangisnya.
Tari ingin membalas budi pada Ayah dan Ibu!” Tapi bukan dengan cara seperti ini! Marni
telah menghancurkan sebelah hatiku, Tari. Janganlah kau remukan lagi yang
sebelah lagi. Selama ini Ayah tidak pernah minta apa-apa kepadamu, bukan?
Semalam-malaman Tari menangis menyesali nasibnya. Separuh umurnya telah di
lewati nya sebagai anak angkat yang harus selalu mengalah kepada adiknya. Dan
kini, separuh umurnya lagi harus di korbankannya sebagai istri laki-laki yang
tidak mencintainya!
Tetapi samapai disini pun
penderitaanya belum berakhir. Ketika persiapan pernikahan telah selesai, ketika
semua undangan telah di bagikan, Marni tiba-tiba saja muncul kembali di
tengah-tengah mereka!” Maafkan aku, Tari!” Tangis Marni di atas bahu kakanya.
Aku telah merampas milikmu! si Paul itu sungguh terkutuk! Dia hampir berhasil
melarikan aku ke singapura! Dia bajinga, Tari, penipu! “Sudalah”, keluh Tari
sambil memikirkan nasib buruk macam apa lagi yang belum pernah menjenguknya.
Aku pun tak merampas milikmu. Aku rela menyerahkan Joko ke tanganmu. “Syukurlah
kau telah kembali, Marni.” Ibu merangkul Marni sambil menangis. Mudah-mudahan
semua dapat di selesaikan secara kekeluargaan. “Jadi bagaimana ini?” Geram Ayah
jemu.” Apakah Joko harus kembali menikah dengan Marni? Bagaimana dengan
undangan yang telah di sebarkan?” Maaf”, sela dokter Joko tiba-tiba. “Saya
tetap akan menikah dengan Lestari. Pernikahan bukan tali senar yang bisa di
pindah-pindahkan.”
“Tapi pernikaha bukan alat untuk
balas dendam! Sya masih punya harga diri! Sahut Tari tega. “Tentu. Joko
tersenyum lembut ke pada Tari.” Justru kau memiliki harga diri aku jadi
tertarik padamu. Bukan karena mendendam kepada Marni. Saya membutuhkan istri adalah
kau, Tari. Untuk mendampingi saya bertugas di pedalaman kalimantan. Dan kata
Ayah, cinta bisa menjelma setelah menikah, bukan?”