Sabtu, 02 Juni 2012

Pengorbanan Hati Setulus Cinta




PASTI ada persoalan yang sangat penting. Pikir Lestari sambil duduk hati-hati di hadapan orangtuanya. Kalu tidak, Ayah-Ibu  tidak begini serius memanggil ku. Ada yang ingin Ayah bicarakan dengan kau, Tari, kata Ayah sambil mematikan rokoknya. Mengenai dirimu. Tidak biasanya, pikir Tari heran. Biasanya dia hanya membicarakan Marni. Kemarin Dokter Joko membawa orangtuanya kemari. Melamar Marni. Karena Marni tidak keberatan. Ayah pun tidak bisa menolak. Mereka akan segera menikah. Tapi itu bukan urusan ku, pikir Tari  kesal. Kapan mereka baru mau berhenti membicarakan Marni dan menoleh kepada ku.? Kalau menurut urutan umur, kau yang seharusnya menikah lebih dahulu, Tari, sambar Ibu cepat-cepat, ketika di lihatnya dahi Tari mulai berkerut. Dan Ayah tidak mau mendengar segala macam omong kosong., seolah-olah kami menelantarkan engkau karena engkau hanya anak angkat.” Jadi itulah persoalanya, keluh Tari sambil menunduk.

            Dokter Joko tidak dapat menunggu terlalu lama, Tari. Dia harus segera ke daerah untuk menjalankan tugasnya. Ke daerah, teriak Tari dalam hati. Sungguh dia tidak dapat membayangkan Marni yang demikian manja dan pesolek sanggup hidup sederhana mendampingi suaminya di daerah! Kau belum memikirkan jodoh mu, Tari? Tanya Ibu lemah lembut. Temanmu yang sering kemari itu, siapa ya namanya , Ibu lupa? Adi, sahut Tari tersendat. O ya.... Adi, ada secercah sinar mengintai dari balik mata Ibunya. Dia cukup memenuhi syarat, kan? Maksud Ibu, dia cukup ganteng, sopan, sabar dan.....,Ibuu dengar sebentar lagi dia akan memperoleh gelarnya. Memang, pikir Tari jemu. Adi memang baik, sopan, ganteng. Tapi.........,,dia belum pernah  melamarku, bicara soal cinta saja belum pernah!  Lalu darimana aku harus mulai?

            Semakin dekat dengan hari pernikahan Marni, semakin tebal mendung yang menyelimuti wajah Lestari. Persiapan-persiapan pesta  itu seolah-olah berlomba dengan niatnya untuk  mendapatka  seorang suami.  Alangkah  malunya jika  sampai  hari  pernikahan  Marni nanti, dia belum juga berhasil membawa  seorang laki-laki ke hadapan oang tuanya.

                        ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

            Saya tidak yakin Marni bisa sanggup hidup di daerah. Sudah tiga kali Tari memancing-mancing reaksi Adi.  Tetapi lelaki dungu itu....,oh! Barangkali tak ada tempat terluang lagi di otaknya., kecuali untuk rumus-rumus kimianya! Ya , saya dengar dia mau menikah, sahut Adi tanpa perasaan apa-apa di wajahnya. Dengan dokter Joko, kan? Oh, kau tahu banyak tentang Marni ya? Desah Tari dengan sekelumit rasa tidak enak di hatinya. Dia sendiri yang cerita padamu? Saya kira Marni tidak menyukai laki-laki seperti dia. Tari merasa  ragu,  benarkah dia mendengar suara  cemburu dalam suara Adi. Dia pilihan orangtua mu, kan? Bagaimanapun , gerutu Tari mengkal. Saya mengagumi keberaniannya. Tidak mudah melamar gadis seperti  Marni. Tapi Joko berani mencoba. Dia tidak menunggu sampai Marni menyerahkan diri kepadanya. Saya benci laki-laki yang penakut. Yang Cuma menunggum menunggu saja sampai tua. ! sampai gadis yang dicintainya di ambil orang!

            Tentu sahut Adi tanpa mengetahui kemana arah kata-kata Tari. Joko punya modal untuk itu. Dia dokter, ayahnya pejabat tinggi, dan ibunya direktris dua perusahaan yang bonafid. Kalau kau menunggu sampai punya modal, geram Tari tanpa dapat menahan dirinya lagi. “Kau sudah kehabisan jalan! Sampai berkarat gadis mu menunggu, kau belum sempat juga melamarnya!” Adi memandang , Tari dengan keheranan-heranan. Belum pernah di lihat gadis itu sesengit ini. Biasanya dia begitu tenang. Begitu sabar. Dan.....,begitu menyejukan. Tetapi hari ini....,ahmengapa dia hari ini?

            ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
            
          “Kau sedang menunggu seseorang,” kata Marni. Suaranya tajam menyelidik. Dan matanya ......,oh, mata yang indah itu! Tarri benci melihatnya. Mata itu demikian hidup, berbinar-binar, seolah-olah sejuta bintang mengintip diana. Lebih-lebih sekarang. Ketika rasa ingin tahu yang berlebihan membuat mata itu lebih bersinar lagi. Bukan urusanmu, sahut Tari dingin. Bulan depan kau menikah. Tak pantas lagi kau mengintip-intip pacar orang. Marni tercenganng sedetik. Tapi di detik lain, tawanya meledak, keras. Cerah. Mengguncang-guncang bahu dan dada nya yang padat berisi itu. Katanya di sela-sela tawanya. Sekarang aku tahu sebabnya! Si tolol itu! Adi belum melamarmu juga ya? Seharusnya Ibu tak perlu cerita kepadanya,  geram Tari dengan muka yang merah padam. Ibu selalu membuat aku malu! Jangan takut anak manis, ! Marni mencubit pipinya. Tari mengelak dengan sengit. Dia selalu muak di perlakukan seperti anak kecil begini. Aku bisa menolong mu. Bicara dengan Romeo mu yang hampir pikun itu, mau? Terima kasih, sahut Tari ketus. Aku sudah cukup berterima kasih kalau kau  lekas-lekas menyingkir dari sini. Sekarang. Sebentar lagi tamu ku datang. Tamu? Belalak Marni heran. Sudah berhenti tawanya. Tamu istimewa rupanya , ya? Tamu siapa, Tari? Desak ibu yang tiba-tiba muncul dari dalam. Kenapa tidak kau katakan pada Ibu? Lihat, mebel kita sudah begini kotor! Celaka, berungut Tari kesal. Ibu selalu muncul disaat yang tidak aku harapkan. Dan Ibu selalu mencuri dengar percakapan kami! Sebenarnya tidak ingin saya katakan, katanya segan. Seorang teman dari surabaya. Katanay mau mampir sebentar. Kau punya teman di surabaya? Belalak Marni makin heran. Sahabat penaku, “ sahut Tari setengah terpaksa. Sahabat pena? Marni mebeliak lebih lebar lagi. Tari mengeluh dalam hati. Dalam keadaan sejelek-jeleknya pun, Marni masih tetap cantik. Beruntung benar menjadi orang cantik. Mulut yang terlalu lebar buat orang lain, malah sexy bila jadi mulutnya.! Kau tak pernah bilang punya sahabat pena! Buat apa bilang? Jadi sengaja kau rahasiakan! Tentu, sahut Tari terus terang. Takut keduluan lagi olehmu. Sengaja aku pakai alama rumah temanku. Sudalah, potong Ibu tak sabar. Temanmu itu, yang mau datang nanti, siapa namanya Tari? Paul. Tari menghembuskan sepotong nama itu bersama hembusan napasnya.

            Nah, Paul harus kita undang makan di sini! Kata Ibu...., ah, kenapa mesti repot-repot begini? Dia teman biasa kok! Maksud saya.... Ibu tahu  maksudmu! Potong ibu pula. Kalau kau tak punya keberanian, sampai kapan kau mau menunggu? Kau harus menunggu sampai ada pria yang terpaksa menoleh kepadamu  karena sudah tidak ada pilihan lain? Sudalah, sekarang kau pilih pakaian yang terbaik di lemari mu, kalau perlu kau boleh pinjam baju Marni...., ah, tidak. Kau beli saja baju baru di toko.! Aku ikut! Sambar Marni gembira. Aku bisa membantu memilihkan baju yang cocok untuk kulitmu yang berwarna tembaga! Tidak, potong Ibu tegas. Kau pergi pesan  makanan ke rumah makan di sebrang. Percuma melawan perintah Ibunya. Percuma mencegah kehendak seorang Ibu yang rela melakukan apa saja demi memperoleh menantu yang di idam-idamkannya. Lebih baik dia lekas-lekas pergi mencari baju  daripada membuang waktu bersih tegang leher lebih lama lagi. Dan ketika pulang, Tari menjadi amat heran. Makanan telah terhidang lengkap di atas meja makan. Ayahh telah menunggu dengan tidak sabar di kepala meja. Dan Ibu telah tiga kali mengintai keluar dari balik jendela. Tetapi yang di tunggu-tunggu belum muncul juga.! Pukul berapa katanay adia mau datang, Tari. Katanaya sekitar pukul sepuluh, Bu, sahut Tari antara sedih dan malu. Sekarang sudah hampir pukul dua belas,dumal Ayah sambil menguap. Kalau belum apa-apa sudah tidak menepati janji begini....” sudalah! Potong Ibu segera. Jangan menggerutu terus. Barang kali ada halangan di jalan.

            Dari tadi si Marni tidak kelihatan, kata Ayah tiba-tiba. Di mana dia? Kata si Minah pergi dengan temannya . waktu Marni pulang beli makanan tadi, temannya sudah menunggu di sini. Sebulan lagi menikah, masih kau ijin kan dia  keluyuran dengan teman-temannya? Mana aku tahu? Balas Ibu kesal. Tadi kan aku pergi menjemput mu ke kantor. Telepon kita  rusak, tidak bisa menghubungi mu lewat telepon! Dan mereka mulai lagi mempertengkarkan Marni. Membicarakan marni. Marni. Marni! Lupa kepada Lestari, yang duduk salah, berdiri pun salah. Lupa kepada Lestari yang dengan berlinang air mata berdoa dari dalam kamarnya, semoga ada angin yang menghembuskan Paul kerumahnya. Sia-sia. “Paul tidak akan pernah muncul. Tentu saja Tari tak pernah berpikir, mimpi pun tidak, Paul telah datang kerumahnya dan bertemu dengan Marni!” Merasa malu bertemu muka dengan orang tuanya, Lestari menghindari dia dengan mengurung diri berhari-hari di dalam kamarnya.sampai malam  itu, tiga hari sebelum pernikahan Marni, ayah-ibunya menerjang masuk kedalm kamarnya tanpa mengetuk pintu lagi! Ayah ingi bicara, Tari! Suara ayah gemetar di desak amarah yang meluap. “So....., soal apa, ayah?”  Tanya Tari gugup. Ngeri melihat mata ayahnya yang merah berkilat dijilat api kemarahan. Sia-sia di menerka dosa apa yang telah di perbuatnya.

            “Kau harus menolong kami, Tari. Kau harus menutup malu ini.!”  Tari masih tertegun bingung ketika ibunya memeluk dia sambil menangis. Marni kabur, Tari! Dia mengirim surat dari ....,dari surabaya? Sura....baya?? anak celaka itu minta kita membatalkan pernikahan! Geram ayah sengit. Tapi kelurga Santoso tidak mau menerima alasan kita, Tari.” Seluruh keluarga mereka telah lengkap berkumpul di jakarta. Mereka tidak peduli Joko akan menikah dengan siapa, pokoknya pernikahan harus tetap berlangsung...., dan kau...,dan kau telah di setujui untuk....,untuk menggantikan adik mu....,” Tari tertegun. Menikah? Dengan Joko? Dengan calon suami adiknya? Tangisnya baru meledak ketika kesadaran akan nasibnya perlahan-lahan mulai menjalar ke otaknya.  Duli Marni selalu memberikan pakaian-pakaian bekasnya, pakaian-pakaian yang sudah tidak di sukainya kepada Tari. Dan sekarang....,sekarang bahkan dia memberikan calon suaminya, calon suami yang tidak di sukainya, untuk Lestari. Alangkah hinanya! Seperti tukang loak yang selalu menerima barang-barang bekas! Dan dia harus puas denga sisa-sisa adiknya! “Tari memang Cuma anak pungut, Ayah, ratapnya di sela-sela tangisnya. Tari ingin membalas budi pada Ayah dan Ibu!”  Tapi bukan dengan cara seperti ini! Marni telah menghancurkan sebelah hatiku, Tari. Janganlah kau remukan lagi yang sebelah lagi. Selama ini Ayah tidak pernah minta apa-apa kepadamu, bukan? Semalam-malaman Tari menangis menyesali nasibnya. Separuh umurnya telah di lewati nya sebagai anak angkat yang harus selalu mengalah kepada adiknya. Dan kini, separuh umurnya lagi harus di korbankannya sebagai istri laki-laki yang tidak mencintainya!

            Tetapi samapai disini pun penderitaanya belum berakhir. Ketika persiapan pernikahan telah selesai, ketika semua undangan telah di bagikan, Marni tiba-tiba saja muncul kembali di tengah-tengah mereka!” Maafkan aku, Tari!” Tangis Marni di atas bahu kakanya. Aku telah merampas milikmu! si Paul itu sungguh terkutuk! Dia hampir berhasil melarikan aku ke singapura! Dia bajinga, Tari, penipu! “Sudalah”, keluh Tari sambil memikirkan nasib buruk macam apa lagi yang belum pernah menjenguknya. Aku pun tak merampas milikmu. Aku rela menyerahkan Joko ke tanganmu. “Syukurlah kau telah kembali, Marni.” Ibu merangkul Marni sambil menangis. Mudah-mudahan semua dapat di selesaikan secara kekeluargaan. “Jadi bagaimana ini?” Geram Ayah jemu.” Apakah Joko harus kembali menikah dengan Marni? Bagaimana dengan undangan yang telah di sebarkan?” Maaf”, sela dokter Joko tiba-tiba. “Saya tetap akan menikah dengan Lestari. Pernikahan bukan tali senar yang bisa di pindah-pindahkan.”

            “Tapi pernikaha bukan alat untuk balas dendam! Sya masih punya harga diri! Sahut Tari tega. “Tentu. Joko tersenyum lembut ke pada Tari.” Justru kau memiliki harga diri aku jadi tertarik padamu. Bukan karena mendendam kepada Marni. Saya membutuhkan istri adalah kau, Tari. Untuk mendampingi saya bertugas di pedalaman kalimantan. Dan kata Ayah, cinta bisa menjelma setelah menikah, bukan?”

Jumat, 01 Juni 2012

"Ulang Tahun Terakhir"


MAMA, kita nengok Papa yuk.” Suara Lisa membuyarkan lamunan ku. Melalui kaca lemari hias kulihat dia tegak berdiri diamabang pintu kamar. Segera dia berlari kepelukanku. Lisa mau lihat Papa, Ma, katanya lagi sambil memandang wajahku sejurus. Aku Cuma mengangguk. Dan tak terasa kedua kelopak ku basah. Mama? Lisa menatap ku heran. Mama menangis, Ma? Aku hanya memeluknya lebih erat. Haruskah kuceritakan pertengkaran ku semalam kepada putri ku yang masih kecil? “Papa sakit, Lisa. Karena itu Mama menangis,sahutku lirih.

Suamiku mendapat penyakit darah timggi yang cukup gawat. Tadi malam kami bertengkar. Dia begitu gusar sehingga tidak dapat menahan dirinya lagi. Mama sayang  Papa ya? Mata Lisa langsung menatap ke mata ku. Menyelidik, . kenapa semalam Papa disuruh pergi, Ma? Berdebar hatiku dibuatnya. Tadi malam? Kutatap tajam-tajam kedua bola matanya yang bening. Ah, setiap kulihat kedua matanya , aku teringat Handoko. Bekas kekasih ku. Aku sadar, kedua mata Lisa bukan milik mas Dedi suamiku. Itu adalah milik  Handoko, karena Lisa hsil cinta remaja yang terlalu menggelora antara aku dan Handoko, delapan tahun yang lalu. Kami sama-sama muda saat itu. Sama-sama tidak tahu akibat  yng bakal terjadi. Sehingga Handoko sempat membenehi Lisa di rahimku. Dan ketka Handoko lari dari tanggung jawab, hanya mas Dedi seorang yang mau menerima ku sebagai  istrinya dan menganggap Lisa sebagai anaknya sendiri. Iya tadi malam Lisa belum tidur, katanya nyaring, membangukan aku kembali dari kenngan masa lalu. Lisa dan tante Nuniek melihat Papa keluar. Papa terus pergi. Tidak mencium Lisa. Papa marah sama Lisa ya, Ma?

Tidak, sayang, gumamku lembut. Papa sayang Lisa. Kucium kedua pipinya sepuas-puasnya. Sekarang tidur dulu ya. Nanti sore kita menengok Papa. Aku bangkit dan mengantar Lisa kekamarnya. Segera ku gantkan bajunya dan ku gendong dia keranjang. Tidur yang manis ya. Ku kecup dahinya. Mama...., Lisa memegang lenganku. Minggu ddepan tanggal dua puluh,Ma...... aku mengerutkan kening dan dan menoleh ke alamanak yang tergantung di dingding . alamanak itu sudah penuh dengan corat-coretan mulai dari tanggal satu sampai dengan tanggal hari ini. Mama, lupa? Itu kan hari ulang tahun Lisa, Ma. Kulihat kekecewaan di mata anak ku. O, tuhan, sampai-sampai aku tak tahu lagi hari ulang tahun putri tunggalku. ! mama...Lisa menelitiwajah ku. Kita tidak bisa pesta ya, Ma? Tak sengaja mataku beradu dengan matanya. Papa sedang sakit. Suara Lisa menurun. Nadanya terdenganr sangat kecewa. Tante Nuniek bilang, kita tidak akan pesta sampai Papa sembuh. Papa akan sembuh. Terlompat begitusaja kata-kata itu dari mulut ku. Papa akan sembuh , Lisa. Kita akan pesta dan semua teman-teman Lisa akan kita undang.

Mata Lisa bercahaya dalam kegembiraan. Ada tamu, Mbak. Nuniek tegak di ambang pintu. Tante nuniek1! Kita akan pesta! Lisa menghambur dairi pangkuanku dan lari memburu Nuniek. Papa akan sembuh, Tante! Lisa akan mengundang semua teman Lisa, Horeee...! nuniek tersenyum. Nuniek adalah adik mas Dedi yang paling bungsu. Sejak setahun yang lalu dia ikut kami. Mama......Lisa memegang tangan ku. Matanya yang bulat dan bening menatap ku sungguh-sungguh. Apa sayang? Aku mencoba tersenyum  lembut menatapnya. Sebuah boneka yang bisa bicara? Atau....,alat-alat gambar? Lisa menggeleng . ditatap mata ku dalam-dalam. Lisa minta adik Ma, katanya tenang. Aku tertegun mendengar permintaanya kali ini. Lisa minta boneka yang bisa jalan. Bisa bicara. Bisa ngejar Lisa. Juga bisa tidur dan main sama Lisa. Tante nuniek bilang... segera kulirik Nuniek. Itu bukan boneka lagi. Itu namanya adik, dan adik Cuma bisa di beli di perut Mama. Anak pandai. Suatu suara mengejutkan dari belakangku. Aku tak perlu menoleh lagi. Karena suara itu sudah demikian ku kenal. Handoko melewati ku dan berlutut di muka Lisa.

O, Tuhan, ! seadainya kami lebih dewasa delapan tahun yang lalu. Hal ini tidak perlu terjadi. Tak perlu kami bohongi anak tak berdosa ini siapa ayahnya. Sebuah boneka yang bisa jalan dan bicara.... Handoko tersenyum ramah kepada Lisa. Di pegangnya ke dua tangan annak itu.  Oom Handoko akan berikan kepada Lisa. Oom janji. Mata Lisa melebar. Yang bisa mengejar Lisa? Adik Lisa? Tanyanya bersemangat. Tapi kata Tante nuniek...Lisa menatap Nuniek di belakangnya. Kata tante,  hanya Mama yang bisa memberikan. Handoko menoleh sebentar ke arah ku. Pandangannya begitu menusuk. Tapi bibirnya tetap tersenyum. Aku hanya dapat menunduk dan berusaha tidak menangis. Apa jadinya kalau aku sampai menangis? Boneka yang bisa ngejar Lisa, akan Oom berikan tahun depan. Dan tahun ini? “Cuma yang bisa jalan dan bicara.”seyum yang cerah menghias bibir mungil Lisa. Dan Oom akan datang di pesta Lisa? Betul? Oom janji? Tanya Lisa bersemangat. Oom janji, handoko kembali tersenyum. Terima kasih, Oom. Lisa tertawa gembira.

Oom sangat baik. Lisa mau cium Om. Boleh ya, Ma? Aku tertegun. Belum sempat berkata apa-apa ketika Handoko sudah menyorkan wajahnya ke bibir Lisa. Lisa mengecup lembut dahi Handoko. Aku tak dapat lagi menahan air mataku.. segera kupalingkan wajah ku dan keluar di ikuti Handoko. Anak yang lucu. Begitu manis, gumamnya sambil berjalan mengikuti ku keruang depan.  Kita dapat bahagia bertiga, tien. Percayalah. Sejak kedatangannya senulan yang lalu Handoko terus berusaha membujukku dan Lisa turut ikut denganya ke sumatra. Karena disana dia telah mempunyai kedudukan yang kuat. Tidak seperti delapan tahun yang lalu ketika dia meninggalkan aku sendiri saja bersama bayinya dalam rahim ku. Maafkan aku, Han, kataku perlahan. Mas Dedi sangat baik. Aku tak dapat begitu saja meninggalkannya.  Aku yakin kau tak bisa mencintainya. Jangan menipu diri. Jika itu kau katakan delapan tahun yang lalu, memang benar. Tapi tidak sekarng! Kataku tegas. Memang aku tak mencintainya ketika terpaksa menerima lamarannya. Tapi aku telah berusaha. Sedikit demi sedikit. Amat sulit memang. Tapi akhirnya aku dapat menerimanya” Handoko terdiam.

Aku tak mau mengulangi kesalahan ku yang kemarin, Han. Dia begitu membutuhkan diriku. Tapi aku tidak berada di sisinya. Malah aku pergi bersama kau Han. Aku menangis perlahan. Handoko hanya diam mengawasi. Tien.....katanya akhirnya. Sunyi sebentar. Aku tidak akan memaksamu, seandainya sekarang kau dapat bahagia dengan suami mu sekarang.  Aku tidak akan mengganggu rumah tangga mu  lagi.  Handoko berdiri dan kami saling bertatapan. Lama. Hanya mata kami yang saling bicara. Kapan kau berangkat Han?” Nanti sore.” Lambat-lambat dia mencium kening ku. “Ciuman dari seorang sahabat,” katanya perlahan. Aku mengangguk lemah. “Selamat tinggal, Tien.” Handoko baru mau  melangkah pergi ketika tiba0tiba suara Lisa memecah kesunyian. Oom....” Handoko tertegun. Lisa melongokan kepalanya dari jendela kamar. Lisa gak bisa tidur, Om, katanya sambil tersenyum. Oom janji datang ke pestra Lisa kan?  Nah, Oom belum tahu tanggalnya. Tanggal 20 jam 10!” lagi-lagi Handoko tertegun. Dia melihat sekilas kearah ku. Oom akan datang, Lisam katanya lirih sambil tersenyum. Seandainya kami tidak melakukan kesalahan itu. Mereka tak usah berpisah sekarang . tak akan ada perpisahan antara seorang ayah dengan putrinya. !

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Mas Dedi sedang duduk di pembaringan saat aku dan Lisa meneengoknya sore itu. Papa! Lisa lari mengambur kepelukan ayahnya. Papa, lisa sayang papa! Di kecupnya pipi ayahnya. Dan ini satu lagi dari Mama katanya sambil mengecup pipi yang satunya lagi. Mas Dedi tersenyum menatap Lisa. Sekilas dia menatap ku. Tiba-tiba saja dia mengeluh berat. Kenapa, Pa? Lisa merangkul manja. Kata Mama, Papa akan cepat sembuh. Lisa , ku potong kata-katanya sambil duduk di sisi pembaringan. Sekarang duduklah yang manis. Lisa mematuhi perintah ku. Mas......, Kubelai wajah suami ku perlahan. Hanya itu yang dapat keluar dari mulut ku. Maafkan kejadian semalam...., Aku baru hendak berkata lagi ketika perawat menyentuh bahu ku. Maaf, bu, Bapak tidak boleh terlalu lelah. Kalau begitu, beristirahat saja dulu, ,Mas. Jangan pikirkan  apa-apa. Aku bangkit dan  membimbing tangan Lisa. Bilang sama Pap, Lisa mau pulang dulu ya. Papa, Lisa ulang tahun minggu depan. Papa cepat sembuh ya. Lisa mau pesta sama teman-teman. Mas Dedi bergumam lemah, tak jelas apa yang di katakanya. Papa? Lisa nggak ngerti apa yang Papa bilang. ?  Papa menanyakan hadiah ulang tahun mu, Lisa, kata ku mencoba menengahi. Boneka beruang Papa. Yang besar dan coklat. Seperti punya Titin.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Ketika memasuki kamar Lisa malam itu. Dia sedang asyik mencoret tanggal sembilan belas di alamanak diatas ranjangnya. Mama......, suaranya sangat cerah. Besok Lisa ulang tahun. Lihat , Ma! Lisa menujuk sebuah kursi di sudut kamar. Disana, diatas kursi, Lisa telah menyiapkan gaun serba merah, sepatu merah, kaus kaki dan tas merah, pita merah, semuanya tersusun rapi. Itu yang akan Lisa pakai besok, Ma. Semuanya serba merah. Mama bilang merah ini berarti kegembiraan, bukan? Aku begitu terharu. Lisa benar-benar sudah bersiap untuk berpesta. ! sekarang tidur dulu ya. Sudah  malam,nanti Lisa terlambat bangun besok. Kataku sambil membaringkan Lisa dan menecup dahinya, wajah Handoko tercermin nyata di wajahnya. Aku mengeluh perlahan dan segera mematikan lampu

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Jam dingding hampir menujuk ke angka sepuluh ketika kulayangkan sekali lagi pandangan ku keseluruh kamar tidur Lisa.semuanya sudah tampak rapi, sebentar lagi Lisa akan pulang. Dia akan berlari-lari kekamarnya dan menemukan begitu banyak hadiah yang begitu di harapkannya. Dia akan melompat-lompat dan menari-nari ke girangan. Tawanya yang cerah akan pecah berderai seakan-akan tidak akan berhenti. Membayangkan lagak putriku, diam-diam aku tersenyum  sendiri. Dan ketika ku balikan tubuh ku, Handoko telah berada di ambang pintu. Ada boneka besar ditangannya. Kami bertatapan sebentar. Akan ku berikan sendiri kepadanya. Terima kasih, Han. Kamu adalah tamunya yang pertama. Akku mencoba tersenyum ramah. Handoko membalas senyum ku dengan memperhatikan sebuah gambar di atas ranjang Lisa. Gambar yang sederhana. Gambar buatan anak kecil. Ini tebtu gambaran Lisa. Handoko tersenyum  melihat memandang gambar seorang perempuan kecil  di tengah-tengah kedua orang tuanya. Buat Papa dan Mama, tertulis diatas gambaran itu denga tulisan-tulisan besar dan lucu. Hadiah istimewa untuk aku dan mas Dedi. Tentu gambar ku. Aku menunjuk. Dan ini mas Dedi. Ini Lisa .....oh! tiba-tiba telpon berdering.  Handoko segera mengangkatnya. Tak sengaja matanya bertatapan dengan mata ku. Dan tiba-tiba wajah nya memucat. Lisa?! Desisku histeris. Oh, anak ku! Pasti terjadi sesuatu dengannya. ! Aku dapat merasakan nya.

Aku meraskan sembilu semakin dalam mengoyak-ngoyak hati ku. Ya, Tuhan! Diambil maut. Lisa masih mendambakan pesta ulang tahunnya!  Ulang tahun yang terakhir! Oom...,  desahnya begitu melihat Handoko yang berlutut dibelakangnku.  “Mana..., bonekanya.? Handoko menyerahkan boneka besar yang sejak tadi  di peluknya. Dia sudah tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Karena begitu membuka mulutnya,  tangisnya pasti akan meledak tak tertaahankan lagi.

Tahun.... depan...,adik Lisa ya, Oom? Desisi Lisa dengan susah payah. Sebentar-sebentar dia menyeringai menahan sakit. Tapi dia masih ingin bicara. Dia baahkan hendak mengulurkan tangannya untuk membelai boneka itu. Handoko cepat-cepat  meletakan bonekanya di sis Lisa. Tapi Lisa sudah tidak mampu membelainya. Dia hanya menatap dengan lirih. Lisa capek,Ma....,rintihnya lemah. Memegang lengan Lisa erat-erat begitu di lihatnya bola mata Lisa mulai membalik dan memudar.  Lisa...., mau tidur..., dulu...., suaranya hampir  tidak  terdengar. Nanti...,   kalau  teman-teman  ...,,  sudah datang....,, bangunin Lisa ya, Ma...” jangan pergi Lisa!  Aku menjerit menelukup diatas tubuhnya. Jangan tinggalkan,Mama!” tetapi Lisa sudah pergi. Matanya tertutup rapat. Begitu manis, begitu lelap. Sekarang dia hanya  tertidur....

“Tidur yang manis, Anakku. Handoko mengecup lembut keningnya. Saat itu pintu terbuka. Seorang perawat mendorong sebuah kursi roda. Diatas kursi itu mas Dedi duduk memeluk boneka beruang  permintaan Lisa. Terlambat. Lisa sudah pergi. Dan tak akan dapat lagi bermain dengan boneka itu. Aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Yang terakhir ku ingat hanyalah kamar tidur Lisa. Kamar yang sudah siap untuk berpesta. Teman-teman Lisa yang berdatangan dengan kado untuk Lisa. Di tangan mereka. Yang sia-sia menanti kedatangan Lisa kembali. Dan......., alamanak yang penuh denga coretan. Angka dua puluh belum lagi di coret. Lisa belum sempat mencoretnya...

                                               ***********************


Kamis, 31 Mei 2012

Sebuah Bangku Telah Kosong..




BANGKU yang paling belakang itu memang palin strategis. Tidak heran kalau selalu jadi rebutan. Kalau musim ulangan, laci di bawah meja itu pasti penuh dengan buku pintar. Tapi kalau lagi musim jambu, jambu pun bisa bersembunyi disitu. Apalagi kalau datang-datang jam ngantuk. Seperti sekarang. Angin sepoi-sepoi yang berhembus dari jendela di belakang bangku itu bisa membuat orang lupa mereka berada didalam  kelas. Bukan di kamar tidur. Wina sudah dua kali menguap. Ira tiga kali. “Ngapain tadi malam?” bisik Wina sambil menunduk lebih dalam. Pura-pura menyimak buku pelajaran bahasa prancis diatas mejanya. “kamu ngelayap kemana?” Nonton silat.! Ira balaas berbisik. Karcis jam tujuh sudah habis. Terpaksa menunggu pertunjukan terakhir. Pantas kamu kayak nggak ketemu bantal seminggu. Gila! Ngantuknya bukan main ya, Win? Tangan Ira meraba-raba kebawah laci mejanya, mencari-cari jambu yang tadi di leatakanya disana. Sialan, Win, bisiknya geram. Ada yang ngambil jambu kita! Ah, masa? Wina hampir lupa mereka ada di dalam kelas, bukan di gedung bioskop.tadi aku yang taruh disitu........” nggak ada....”

            Tangan Ira meraba-raba lebih jauh ke dalam dan tiba-tiba......,tiba-tiba dia terjerit tertahan ketika ujung-ujung jarinya menyentuh benda LUNAK yang BERBULU.....,berEKOR pula! Seluruh kelas serentak menoleh kebelakang. Kearah Ira yang sedang terhenyak di kursinya dengan wajah pucat pasi. Tangannya masih mencoba menutupi mulutnya sendiri. Tapi jeritannya sudah sampai kedepan kelas. Ibu Surti terbelalak antara kaget dan  marah. “Ada apa Ira?” bentaknya sengit. Dibantingnya buku yang sedang di genggamnya ke atas meja. Lalu dengan langkah-langka yang mampu mengusir sekompi nyamuk, dia menyerbu kebelakang. “Ada apa?”

            Tetapi Ira sendiri belum mampu membuka mulutnya. Dia Cuma membelalak ketakutan sambil menunjuk-nunjuk laci yang ada di bawah mejanya. Sambil membungkuk ibu Surti ke bawah meja. Tangannya menggapi-gapi ke dalam laciyang dalam dan sempit itu. Mati aku! Pikir Wina gelisah. Kenapa Ira jadi begok begini? Kalau bu Surti tahu ada jambu di dalam laci.................,tetapi tangan Ibu Surti keluar tidak dengan sebungkus jambu. Sebaliknya dia cepat-cepat menarik tangannyua kembali seperti disengat kala. Ketika dia sudah berdiri tegak kemabali, Wina hampir-hampir tidak berani menatap wajahnya. Wajah itu pucat dan merah berganti-ganti. Tapi mata yang membelalak di balik kaca mata itu....,astaga seramnya! Siapa yang melakukan ini?” !

 bentaknya sudah menggelagar ke seluruh kelas sebelum separuh isi kelas itu tahu apa yang terjadi. Ada apa di dalam  laci?  Ibu Surti tidak menunggu sampai murid di kelasnya berubah jadi lebah yang  mendengung-dengung kebingungan. Dia meninggalkan kelas itu dengan marah. Dan kembali bersama Pak Amat. Dalam waktu dua detik. Tukang kebun itu sudah berhasil mengeluarkan  bangkai seekor tikus dari laci  di bawah meja Ira! Tapi tikus tidak sendirian mati disana. Bersama bangkainya, di keluarkan juga sebungkus jambu.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^



Siapa yang menaruh bangkai tikus itu disana? Mata ibu Surti yang penasaran menjelajahi setiap penghuni kelas itu. Tidak ada yang mengaku? Baik! Kalian tidak akan pulang sampai ada yang mengaku! Seluruh kelas jadi sepi seolah-olah ada setan lewat. Putus asa karena tidak ada yang  mengaku. Akhirnya Ibu Surti menoleh pada Ira yang sedang menunduk menanti hukuman. Ira , coba lihat kemari. Ira mengangkat wajah nya dengan lesu. Kamu yang menaruh jambu itu dibawah meja? Dengan gugup Ira mengangguk. Matanya yang ketakutan menggelepar-gelepar dengan paniknya seakan-akan mencari bantuan. Kalau dia di hukum, biarlah semua yang makan jambu itu ikut di hukum juga. Jangan mau enaknya saja. Wina yang duduk disampingnya. Dia yang membawa jambu itu. Dia yang menaruhnya disana. Lena yang duduk di depannya. Dia selalu nebeng makanan apapun yang ada di laci Ira. Dan Odi. Setan pemeras itu. ! secara kebetulan saja Odi ikut kelompok mereka.dia duduk persis di sebelah Wina. Cuma dibatasi sebuah gang. Suatu kali dia menangkap gerak tangan Wina ketika melemparkan sepotong jambu ke mulutnya. Dan saat itu dia memaksa untuk ikut menjadi anggota. Minta bagian setiap ada rezeki. Kalau tidak, katanya Sadis, kulaporkan kamu!

Tahu apa hukuman nya anak yang makan di kelas? Ibu Surti selalu menganggap mereka masih anak-anak. Meskipun murid-muridnya sudah remaja semua. Setiap kali masuk kelas suaranya pasti menggelegar. Anak-anak.............................” bukan Cuma Ira yang bosan diperlakukan seperti anak kecil lagi. Teman-temannya juga. Tapi saat ini dia lebih baik menunduk dari pada melawan. Memperlihatkan tanda kejengkelan berarti menambah daftar dosa. Nanti kamu mesti menghadap suster Cecilia. Kata ibu Surti dingin. Suster Cecilia adalah seorang kepala sekolah mereka. Menghadap dia sama saja seperti menghadap KGB, Kiamat. Dan kamu, Wina! Hampir copot jantung disana? Wina menggeleng ketakutan. Dia sampai lupa bernafas. Kamu juga tidak, Odi? Tidak, Bu. Odi menggagap. Peluh dingin menetes di keningnya. Dan ibu Surti membaca dusta di matanya. Bohong! Suara ibu Surti menggeledek lagi. Saya tahu kamu berdusta. Kalau kamu tidak mau terus terang , kamu juga akan saya kirim ke kantor suster Cecilia. Rosi , Bu. Odi melirik gadis yang berada di dua baris di depannya. Ketika Rosi dengan menoleh marah padanya, Odi membalas tatapnan Rosi dengan sejuta permintaan maaf di matanya. Waktu istirahat tadi....,saya.....,saya lihat dia menaruh sesuatu di laci Ira.....,”

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^



Siang itu juga sidang kilat diadakan di kantor kepala sekolah. Hakim ketua, suster Cecilia sendiri, duduk dengan angkernya dikursi putar dibalikmeja tulisnya. Pak Disman, wakilnya yang selalu mengangguk-ngangguk mengiakan apa saja perintah suster Cecilia, duduk disampingnya. Di hadapan mereka, tegak terpekur dua terdakwa menanti di vonis. Rosi dan Ira. Ibu Surti, jaksa penuntut dalam kasus ini, tegak diantara mereka. Dia tetap berdiri tegak dihadapan mereka dengan garangnya walaupun dibelakangnya ada kursi kosong. Apa maksudmu menaruh bangkai tikus di laci Ira, Rosi? Tanay suster Cecilia dingin. Itu bukan bangku  Ira, suster, sahut Rosi tersendat-sendat. Itu bangku saya..... oh, jadi kamu berdua berebut duduk di belakang, hm? Supaya bisa makan jambu di kelas? Supaya bisa nyontek pula. Ibu Surti menambahkan satu tuntan  lagi. Tempat itu memang paling rawan kalau ulangan.  Pengadilan itu tidak makan waktu  lama. Tidak ada setengah jam. Hukuman sudah dijatuhkan tanpa kesempatan naik banding lagi. Mereka diskors tiga hati.

            ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Sudah lama memang Ira dan Rosi saling mendendam. Soalnya bukan Cuma berebut bangku saja. Mereka memprebutkan yang lain juga. Samsu tidak terlalu tampan. Tapi dia menarik. Rajin. Pinter. Ulet. Dan punya punya seribu satu macam lagi sifat yang membuat dia tampak seperti pahlawan bagi gadis-gadis remaja di sekolahnya. Sebenarnya bukan hanya Ira dan Rosi yang memperebutkannya. Wina juga diam-diam sudah lama naksir sama cowok yang satu  ini.  Tapi demi persahabatanya dengan  Ira, dia memilih jadi penonton dari pada peserta. Lagipula Wina sadar. Sam punya sepasang mata yang jeli. Dia pasti bisa membandingkan. Betapa indahnya betis Ira dibandingkan betisnya. Betapa manisnya senyum Rosi bila dibandingkan senyum Wina yang malu-malu.ah, pokoknya sudalah. Wina sudah menyerah sebelum bertempur. Dia diam saja setip kali Ira menceritakan persainganya dengan Rosi. Pura-pura jagi pendengar  yang baik. Seperti siang ini . ketika Ira pulang sambil mencak-mencak. Aku ingi sekali menjambak rambutnya dan membenturkan kepalanya  di tembok. ! geram Ira sambil menoleh-noleh kebelakang. Tentu saja maksudnya mencari Rosi. Tapi yang dicari tidak kelihatan batang hidungnya. “Sudalah, Ir. “ kamu mau di hukum lagi? Bujuk Wina. Penasaran! Kamu sih tidak mengalami sendiri!  Enak saja bilang sudah, sudah! Dia sudah ngumpet, Ir.! Sela Odi yang tahu-tahu sudah ada di belakang mereka. Sudah deh, pulang saja yuk!



           Pulang! Pulang! Geram Ira gemas. Dasar pengecut! Jambunya mau, kalau ketahuan pada lari semua! Abis kita mau apa? Demonstrasi depan kantor? Menuntut pembebasanmu? Solider dong! Ikut bolos tiga hari? Kita keroyok Rosi! Wah, itu kriminil, Ir.! Pokonya aku tunggu di sini! Desis Ira panas. Tatapanya yang berapi-api masih berkeliaran mencari-cari Rosi. Kalau kalian takut, pulang saja! Wah, gawat, dengus Wina cemas. Aku ada usul, Ir, bisik Odi tiba-tiba. Dari pada kita di donder suster Cecilia karena ngeroyok dia......,
Usul apa? Bentak Ira curiga. Duh, kamu jangan galak-galak dong! Dengar dulu!  Odi menoleh kebelakang terlebih dahulu sebelum membisikan usulnya di telinga Ira. Lena yang dari tadi diam saja menunduk menghitung kerikil. Sekarang ikut-ikutan mendekatkan telinganya.  Wina juga tidak mau ketinggalan memasang kuping.


&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&



Panitia penyambutan Rosi sudah siap hari itu. Odi, Ira, Wina dan Lena menunggu dengan hati berdebar-debar apa yang akan terjadi. Hari ini hari pertama Ira dan Rosi masuk sekolah lagi. Berbeda dengan Ira yang dari pagi-pagi sekali sudah ada di kelas. Rosi belum muncul sekalipun bel masuk hampir berbunyi. Gimana nih? Bisik Wina gelisah. Sudah hampir bel dia belum nongol juga. Sialan! Dia tahu kali! Gerutu Odi. Arsitek permainan konyol ini. Sengaja dia bolos lagi. ! gugup. Entar ke buru Pak Iskak datang. Iya, Di. Lena ikut menimpali. Kalau Rosi datang pas waktu  Pak Iskak masuk. Gimana dong? Biarin! Potong Ira judes. Pokonya kalian tahu beres saja. ! itu urusan ku sama Odi. Kalian diam saja deh,. Rasanya dia nggak datang, Ir. Sesudah bel masuk berbunyi, Odi sendiri ikut-ikutan bingung. Ambil baik saja ya? Pak Iskak sudah datang, . di! Teriak Lena panik. Dia lari pontang ponting dari pintu masuk ke belakang. Dan cepat-cepat duduk dibangkunya sendiri! Dia datang sama suster Cecilia.! “Buset!” keluh Odi dengan napas memburu. Kenapa jadi KGB itu yang nongol!”? secepat kilat Odi naik kebangku paling belakang di sudut dekat jendela. Dan mengambil sebutir telur busuk yang tadi di letakannya diatas. Telur itu akan jatuh menimpa siapa saja yang duduk di bangku paling belakang. Apalagi kalau dia tergesa-gesa menarik bangkunya sebelum duduk. Sandaran bangku itu akan membentur bingkai jendela di belakangnya. Getaran yang ditimbulkannya akan di salurkan ke telur yang  sengaja di letakan di ujung’ tanduk’ itu. Telur akan menggelinding dan menimpa kepala orang yang duduk dibangku yang di bawahnya.

Sudah berapa kali Odi mentes senjatanya. Dia yakin sekali! Tidak bakal gagal. Melihat bengku di sudut itu masih kosong, Rosi akan bergegas duduk disana. Dan begitu dia duduk, telur yang telah mereka sediakan akan meluncur keatas kepalanya. Odi duduk di saat suster Cecilia memasuki kelas bersama pak Iskak. Buru-buru disembunyikan telur itu di laci bawah mejanya. Dan dadanya jadi berdebar-debar sendiri. Ada apa? Tidak biasanya suster Cecilia muncul di kelas pagi-pagi begini. Anak-anak......katanaya dengan wajah yang semendung  langit di luar sana. Hari ini tidak ada pelajaran. ...ira dan Wina  saling berpandang tegang. Kita akan pergi bersam-sama kerumah Rosi. Suster baru saja dapat kabar. Kemarin mendapat kecelakaan. Hah,?! Seluruh kelas itu serentak kaget. Suster Cecilia diam menunggu sampai seisi kelas kambali tenang. Sambil menunggu mereka , dia melakukan yang belum pernah mereka dilakukannya selama ini. Lebih-lebih di depan murid-muridnya. Dia membuka kaca matanya. Dan menyeka air matanya. Didesak perasaan tidak enak. Wina sampai melupakan rasa takutnya pada suster Cecilia. Dia membuka mulitnya tanpa bisa di cegah lagi. Gawat , tidak suster? Suster Cecilia menoleh kebelakang. Ke tempat Wina. Matanya menatap redup ketika lambat-lambat bibirnya gemetar.

“Dia meninggal.”

Sekali lagi kelas jadi gaduh. Kali ini lebih ribut daripada tadi. Tidak sengaja tangan Odi yang masih berada dalam laci mengepal. Dan telur yang disediakanya bagi Rosi remuk dalam genggamanya. Hari ini kita mengatarkanya ketempat peristirahatanya yang terakhir. Kata suster Cecilia ketika menjadi lebih tenang. Tapi sebelumnya kita akan bersama-sama berdoa di kapel untuk arwah Rosi. Ira merasa matanya menjadi panas. Rosi sudah meninggal. Hari ini dia telah pergi, . sementara itu dia dan teman-temanya masih merencanakn untuk mengolok-olokanya dengan sebutir telur busuk!  Tidaj sadar Ira meilirik kebangku yang ada di sudut itu. Bangku yang paling belakang. Sekarang bangku itu telah kosong. Dan air mata ira menitik ke pipinya.

                                   

                                    *******************************

Rabu, 30 Mei 2012

Titian Ke Pintu Hati Mu





HUJAN masih turun juga. Memang tak selebat tadi. Tinggal gerimis. Tetapi titik-titik air yang turun menetes itu lumayan juga kalau membasahi baju.

            Sejenak Rian yang sedang berlindung di sebuah halte bis berperang dengan pikirannya sendiri. Terus? Atau tunggu sebentar lagi? Sampai hujan berhenti sama sekali. Dan dia bisa tiba di rumah Ati dengan pakaian kering.

            Sayang kalau kemeja barunya lusuh kena air hujan. Belum lagi kalau ada motor kurang ajar yang lewat nanti. Genangan-genangan air disana dapat mencipratkan lumpur ke celananya. Tetapi kalau dia menunggu lagi jangan-jangan dia malah kelamaan sampai di rumah Ati. Lebih lagi kalau gadis itu keburu ngambek. Rian pasti tidak sempat untuk menjelaskan kenapa dia terlambat.ati sudah mengunci dirinya dikamar. Dan tidak mau keluar meskipun dia tahu Rian sudah setengah jam menunggu di ruang tamu.

            Kadang-kadang Rian memang tidak bisa memahami jiwa Ati. Jangankan mengerti. Menerka-nerka saja susah. Hari ini dia kelihatan manja kepada Rian. Tetapi esok dia tampak begitu acuh tak acuh. Lusa lain lagi. Kadang-kadang Rian jadi beranya-tanya sendiri. Cintakah Ati kepadanya? Ati memang baru berumur enam belas tahun. Masih puber. Jiwanya masih labil seperti kincir angin. Lagipilula  mereka bertemu memang dengan cara yang agak lain dari yang biasa. Gadis itulah yang pertama kali menghubungi Rian lebih dulu. Dia tertarik dengan suara Rian. Sebagai penyiar radio amatir yang ngetop. Suaranya memang banyak di gandrungi gadis-gadis remaja seusia Ati. Ati dan teman-temannya malah bertaruh siapa  yang lebih dulu dapat berkenalan dengan penyiar radio yang simpatik itu. Ternyata Atilah yang paling beruntung. Keberanian nya untuk datang sendiri ke markas tempat Rian bertugas menyebabkan dia memenangkan taruhan. Sekaligus memenangkan hati Rian.

            Untuk beberapa bulan kemudian mereka kemana-mana bersama-sama. Ati seakan-akan demikian bangga memamerkan Rian dengan teman-temannya. Dia malah setia menunggu Rian sampai selesai bertugas kalau hendak pergi ke pesta ini atau menghadiri pesta ulang tahun si Anu. Ati tidak segan-segan nongkrong di markasnya, ngobrol-ngobrol bersama rekan-rekan penyiar yang lain kalau kebetulan sedang siaran. Mula-mula tentu saja Rian tidak keberatan. Dia malah bangga ada gadis secantik Ati menunggunya sampai selesai siaran. tapi lama-kelamaan , entah darimana datangnya perasaan itu. Rian merasa Ati bukan lagi sekedar duduk-duduk disana untuk menunggunya. Ati sengaja datang kesana untuk bertemu dengan Roni. Rekannya yang satu ini memang suaranya tak sesimpatik Rian. Tapi tampangnya meyakinkan. Bukan Cuma cakep, tubuhnya pun atletis, paling berbobot. Bukan ukuran-ukuran pemuda yang kerdil kurang gizi. Atau kurus kering karena terlalu banyak begadang sambil minum alkohol. Otot-ototnya seperti atlit . kulitnya paling bersih. Tidak di corat-coret dengan segala Tatoo yang membuat badan yang hanya selembar itu jadi lebih mirip lagi dengan papan tulis. Pakainya pun rapi. Tidak nyetrik. Tapi cukup modis. Suaranya mantap. Sikapnya dewasa. Penampilannya membuat semua gadis yang berada di dekatnya merasa nyaman,termasuk Ati. Sejak pertama kali datang. Ati memang sudah merasa tertari kepada Roni. Dia memang datang kesana untuk menemui Rian. Kebetulan saat itu Rian sedang siaran. Roni lah yang menemaninya ngobrol. Dan sejak itupun Ati sudah tahu, dia sudah jatuh hati kepada Roni. Apalagi ketika Roni muncul. Ternyata baik sikapnya mupun tampangnya tak sesimpatik suaranya. Penampilannya agak norak. Apalagi didepan gadis yang batu di kenalnya. Gadis yang jauh-jauh untuk mencarinya.

            Lain benar dengan Roni. Meskipun bukan dia yang dicari, pelayanannya sebagai tuan rumah benar-benar mengagumkan. Tidak kurang. Tapi tidak juga berlebihan. Wajar. Hanya sudah kepalang ingin memenangkan taruhan. Ati membawa Rian untuk di pamerkan kepada teman-temannya. Sesudahnya ia sebenarnya ingin mundur saja. Kalau Cuma yang sebegitu, tidak usah jauh-jauh dia mencari ke radio. Di sekolahnya saja banyak kok! Ngapin dia panas-panas mesti naik bajaj ke sana? Berjam-jam nongkrong menunggu Rian selesai siaran. Seperti sudah tidak ada lagi lelaki di SMA—nya! Yang nganggur juga nggak kurang! Kalau akhirnya Ati datang dan datang lagi kesana. Semua gara-gara Roni. Gara-gara si ganteng itu ada di sana . dan Ati ingin menemuinya. Dia tidak punya cara lain karena Roni sendiri tidak ada inisiatif untuk membuka jalan lebih dulu. Roni memang selalu melayaninya dengan ramah. Sama seperti Ati baru pertama kali datang dulu. Dia tidak pernah bosan menemani Ati ngobrol. Dan menurut perasaan Ati , Roni juga gembira kalau dia datang.

            Tetapi kenapa Roni tidak pernah datang ke rumah? ,emgapa dia tidak pernah menelpon meskipun Ati sudah beberapa kali meninggalkan nomor teleponnya? Mengapa dia hanya pasif menunggu? “Tentu saja dong!” desis yayuk ketika Ati menyapaikan uneg-uneg hatinya. Nah, mana dia tahu kamu naksir padanya? Aku saja nggak tahu  kok!  Dia kan cowok! Mestinya dia aktif dong! Mana dia berani? Dia pikir kan kamu ceweknya Rian! Ah, Rian kan Cuma jembatan. Supaya aku bisa ketemu dia. Tapi sudah hampir setahun kita bergaul, dia begitu-gitu juga! Dingin tidak hangat pun tidak! Kalau begitu lebih baik kau putuskan hubungan mu dengan Rian. Dan aku tak punya alasan lagi untuk menemui Roni? Kalau dia mencintaimu, dia pasti akan mencarimu. Kalau tidak? Itu tandanya kamu bertepuk sebelah tangan! Tapi aku betul-betul mencintainya, yuk!ambil saja yang sudah ready stock, Ti. Sudah kucoba, Yuk.tapi nggak bisa. Rian memang baik.sabar. setia. Tapi gimana ya, aku gak bisa aja. Rasanya pikiran ku selalu lari ke Roni sajawalaupun badan ku bersama Rian. Wah, gawat tuh.! Nggak ada jalan lain. Kamu mesti ngomong blak-blakan. Kasihan Rian. Nanti dia keburu serius. Kalau dia bunuh diri, habis kamu di ganyang fansnya!

            Yayuk memang begitu. Enak saja kalau ngomong. Kadang-kadang Ati iri padanya. Dia tidak pernah punya pacar. Tidak pernah pusing. Tidak pernah merasa untuk diet. Tidak heran kalau badannya seperti karung penuh,. Dan dia tidak pernah sakit maag.! Orang bilang, sakit maag erat hubunganya dengan pikiran. Kalau lagi banyak pikiran. Maag bisa ikut-ikutan kumat. Seperti Ati. Kalau dia sedang bingung bagaimana cara menukar Rian—nya dengan roni. Lambungnya seperti latah, ikut-ikutan perih. Seminggu saja tidak melihat dia, aku sudah kangen, Yuk. Keluh Ati sambil memijit keningnya yang mulai terasa berdenyut-denyut lagi. Apalagi kalau dengar suaranya di radio. Terus terang saja sama Rian, Ti. Siapa tahu dia bisa menolongmu. Jika Rian tidak ada, sudah beberapakali memang Ati bertekad untuk terus terang. Tetapi setiap kali berhadapan, kata-kata yang sudah lama disusunya hilang entah kemana. Seperti sore ini. Rian duduk dihadapanya dengan secangkir teh panas. Rambutnya basah. Kemejanya juga. Itu pasti kehujana. Kasihan. Dingin-dingi begini dia datang juga. Padahal gadis yang dikunjunginya sedang memikirkan orang lain. Merindukan pemuda lain.

            Kamu tidak adil, Ti! Entah sudah berapa puluh kali hati kecilnya memaki. Kamu memperalat Rian untuk mendapatkan Roni. Kamu memakai dia hanya sebagai jembatan untuk meraih lelaki yang kamu cintai! Ada apa sih, Ti? Desis Rian bingung. Sudah setengah jam mereka duduk berhadapan. Tapi Ati belum bicara apa-apa. Dan Rian tidak mampu membaca apa yang tersirat di balik kebingungan wajh Ati. Katanya kamu mau ngomong sesuatu. Dari mana aku harus mulai, pikir Ati gugup. Apa yang mesti kukatakan? Blak-blakan aja deh, Ti, terngiang lagi kata-kata Yayuk kemarin. Sebelum dia keburu serius! Aku ingi mengakhiri hubungan kita sampai disini aja ,Rian.....” desah Ati terputus-putus. Dia tidak berani mengangkat mukanya membalas tatapn Rian. Dia tidak sampai hati melihat kehancuran hati pemuda itu. Dia hanya menerka-nerka seperti apa air muka Rian sekarang. Marahkah dia? Sedih?atau....,kecewa? Sejenak Ati tidak mendengar apa-apa. Ruang itu menjadi hening. Hanya tetes-tetes air hujan diluar . dan helaan napas Rian yang sampai ketelinga Ati. Lalu setelah menunggu berabad-abad dalam kekosongan, Ati mendengar suara itu. Suara yang amat perlahan dan tawar. Ini keputusan mu sendiri? Ati Cuma mengangguk. Orang tuanya memang tidak menyukai Rian. Anak Radio. Apa yang dapat diharapkan dari mereka? Ayah Ati menyukai laki-laki yang bekerja keras mencari uang. Bukan Cuma menjual suara.! Tetapi mereka cukup demokratis. Mereka tidak menghalangi anaknya pacaran dengan siapa saja. Asal hanya terbatas pada taraf itu. Kalau menikah nanti dulu!

            Itu bukan lagi persoalan yang dapat di pecahkan oleh remaja. Orang tua mesti turut campur. Dan kalau orangtua sudah ikut campur. Pilihan mereka pasti tidak jatuh pada pemuda semacam Rian. Calon mereka harus lebih bonafid! Bagi mereka, anak adalah tabungan bagi ayah dan ibunya di hari tua. Bagaimana mau menumpang hidup kalau menantu nya seperti itu. ! sekolah saja sudah drop out! Salah-salah mereka yang memberi makan menantu! Mana mereka mau mengerti denganm segala macam cinta! Tidak ada di kamus mereka. Apa karena ada orang lain? Desak Rian penasaran. Dia rela melepas Ati. Tetapi dia mesti tahu apa sebabnya. Sekali lagi Ati mengangguk. Dia telah merasa bedosa kepada Rian. Dan tak mau lagi menambah dosanya dengan berdusta. Rekanku juga? Pancing Rian sekali lagi. Untuk ketiga kalinya Ati mengangguk. Maafkan aku, Rian, desisnya sambil menunduk semakin dalam. Mangapa baru kau katakan sekarang , Ati? Aku takut melukai hatimu. Tapi akhirnya kaulukai juga kan? Sudah kucoba untuk mencintaimu, Rian     ......tapi aku tak dapat! Dia juga mencintaimu? Dia? Ati mengangkat mukanya dengan heran. Tetapi begitu matanya bertemu demgan mata Rian  cepat-cepat di tundukan kembali kepalanya. Tidak sampai hati melihat yang sedang berlumur duka itu. Laki-laki yang kuncintai itu. Rian tidak menyebutkan namanya meskipun dia sudah tahu siapa yang sedang mereka bicarakan. Dia juga mencintaimu? Aku tidak tahu   ........ kami sama-sama tidak berani mengkhianati mu. Aku akan menemuinya. Janga, Rian!  Ati mengangkat mukanya dengan terkejut. Ditatapnya pemuda itu dengan penuh permohonan. Dia tidak bersalah! Dia tidak pernah mengkhianatimu!

            Aku tahu. Tidak adil menyalahkanya, Rian! Dia tidak permah berani mendekatiku. Dia tetap menganggapku milikmu. Aku Cuma ingin menyapikan padanya kau mencintai dia. Jangan! Bantah Ati segera. Kalau dia mencintaiku,m dia harus datang sendiri kepada ku. Aku ingin mencintai seorang laki-laki . bukan seorang anak kecil.kalau begitu, kata Rian setenang biasa. Aku hanya ingin menyampaikan padanya , diantara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Kita Cuma teman biasa. Sekarang Ati menatap Rian dengan terharu. Ternyata dibalik wajah nya yang sedrhana. Dia menyimpan sebentuk hati yang mulia. Wajahnya tidak menapakan betapa sakitnya patah hati. Tetapi Ati tahu, dibalik ketengan sikapnya. Dia sedang menangis. Cuma dia seorang laki-laki yang tabah dia tetap tegak seperti sebuah batu karang yang kokoh. Tidak menjadi pemuda yang cengeng yang merintih meratapi cintanya yang gagal. Dan ini lebih menambah  lagi kekaguman Ati kepadanya. Sampai hari ini Ati masih menunggu kedatangan Roni. Tetapi yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang juga. Hanya suaranaya yang masih tetap setia mengunjungi Ati melalui radio kesayanganya.

            Ati juga masih dengan setia mendengarkan suara Rian setiap kali dia siaran. Ddan setiap kali mengagumi suara yang simpatik itu , Ati jadi bertanya-tanya sendiri, benarkah dia tidak mencitai Rian? Atau dia mesti menunggu dua-tiga tahun lagi sampai jiwanya cukup dewasa untuk memilih kembali? Siapa tahu saat itu dia sudah dapat membedakan kekaguman dengan cinta sejati!





                                    *****************************************

Seuntai Sajak Buat Kekasih





WAH, Wilda betul-betul bingung. Nah, coba saj bayangkan! Besok ada ulangan bahasa inggris. Tapi bukan itu yang membuatnya gelisah. Bahasa inggri di SMA kan tidak sukar. Sederhana. Itu-itu juga. Jadi jangan heran kalau seorang lulusan SMA mesti dites lagi bahasa inggris kalau mau melamar pekerjaan. Soalnya biar nilai bahasa inggrisnya delapan, mereka tetap tidak bisa ngomong bahasa inggris. Paling-paling dengan modal bahasa inggris sebegitu, mereka Cuma bisa nonton video. Jaws. James Bond. Twilight. Transfoemer. Emanuelle. Itu pun main tebak saja!. Tapi begitulah. Buat wilda, Bahasa inggris bukan problem. Yang bikin pusing kepalanya justru Bahasa indonesia! Entah darimana Pak Dar, guru Bahasa indonesianya yang simpatik mendapat ide gila ini. Bayangkan! Dia memilih tujuh orang siswi yang paling top nilai Bahasa indonesia untuk membaca puisi di depan kelas! Sadis nggak?

            Wilda memang ngetop dalam pelajaran yang satu ini. Dalam urusan Bahasa, dia memang Empunya kelas III IPS. Tapi baca sajak? Waduh! Apalagi sajaknya mesti bikinan sendiri! Wah, kiamat!

            Dia memang senang puisi. Tapi tentu saja ciptaan orang lain. Ciptaan penyair-penyair terkenal.protes Wilda. Kamu punya bakat. Saya tahu itu. Tapi kalau kau tak pernah berani memupuk bakatmu, sampai kapan kamu bisa maju.? Ah, memang percuma memprotes Guru. Selama kamu jadi siswa, perintah guru adalah undang-undang. Tidak bisa dibantah. Jadi terpaksa Wilda mengorek-ngorek puisi simpanannya. Mencari yang kira-kira cocok untuk dipamerkan di depan kelas.

            Nah,dari tiga belas buah sajak satu eksemplar yang sudah dua tahun lebih nongkrong di laci meja tulisnya yang paling bawah, ada satu yang paling di sukai Wilda. Soalnya yang satu inisentimentil dan .....,kena! Tentu saja Cuma kena untuk dirinya sendiri. Untuk Pak Dar  yang anak-anaknya sudah setengah  lusin mungkin ini terlalu cengeng. Dangkal. Tidak bermutu. Tapi.....,ah, sudalah. Daripada bengong mendingan dia mulai saja menghapal. Mana besok ada ulangan bahasa inggris lagi! Biar gampang kan dia mesti belajar juga.malu kalau dapat empat. Dan disitulah enaknya membaca sajak buatan sendiri. Sudah menghapalnya cepat, kalau salah pun tidak ada yang tahu! Lain kali dia membawakan sajaknya Chairil Anwar, salah baca satu koma saja seluruh kelas sudah tahi! Ketika menghapal sajaknya, mau tidak mau kenangan Wilda kembali kemalam itu. Malam dua tahun malam  itu hancur berantakan dengan datangnya pertengkeran sengit diantara mereka berdua. Padahal permulaanya sederhana sekali.

            Wilda ingin mereka mengantarkan Emi pulang dulu. Saat itu hari sudah gelap. Pukul delapan cukup malam bagi seorang gadis yang nonto sendirian. Memang Cuma kebetulan kalau disana mereka bertemu dengan Emi. Mereka baru keluar dari bioskop ketika Emi menegur duluan. Dan melihat Emi seorang diri, Wilda jadi kasihan. Dia tahu rumah Emi cukup jauh. Di dearah yang rawan pula. Kita antar Emi dulu ya , Han, pinta Wilda kepada Hanafi. Kasihan dia pulang sendiri. Taksi banyak. Bajaj banyak, kenapa kita yang mesti nganterin dia? Protes Hanafi kesal. Tentu saja dengan separuh berbisik. Kuatir kedengaran Emi. “Nggak pantas kan malam-malam gini dia kita biarkan pulang sendiri, Han? Entar ada yang  iseng. “Sebodo amat! Dia bisa datang sendiri, kenapa nggak bisa pulang sendiri?”

            Datangnya kan tadi masih siang, Han. Sekarang sudah malam.filmnya panjang sih.” Takut apa sih? Kalau di culik juga pasti dipulangin lagi.tampang kaya bomber gitu, Dracula juga kabur! Boro-boro ada yang isengin!” Wah, kalau soal menghina orang,Hanafi memang rajanya. Mentang-mentang cakep, seenaknya saja dia mencela orang! Wilda sendiri kadang-kadang jengkel. Dia tidak apa Hanafi masih mau jadi pacarnya seandainya tubuhnya gembrot seperti Emi. Hanafi memang tampan. Ganteng. Penuh perhatian. Tapi mulutnya! Duh, jahatnya.! Sekali-sekali mesti ada orang yang mengajarnya.dia sudah harus belajar menghargai orang lain. Jangan seenaknya saja mencela!dan kalau dan kalau ada orang yang sanggup mengajarnya, Wilda yakin dialah orang itu! Siapa lagi yang  mau dituruti Hanafi kalau bukan Wilda? Sama Bapaknya pun dia tidak takut!

            Bukan salah Wilda kalu akhirnya pelajaran itu diakhiri dengan pertengkaran. Kata orang, pertengkaran diantara dua orang saling mencintai adlah cara untuk menambah eratnya cinta mereka. Tapi bagi Wilda dan hanafi, pertenkaran itu malah membuat hubungan mereka menjadi hancur berantakan! Hanafi tidak pernah lagi muncul di rumah Wilda. Jangankan muncul, menelpon tidak! Padahal setiap kali telpon berdering, Wilda sudah melompat menyambarnya. Dan setiap kali ada telpon untuknya, jantungnya hampir putus karena berdebar terlalu cepat. Tetapi telpon yang ditunggunya tidak muncul-muncul juga.

            Sia-sia menunggu suara Hanafi di sebrang sana. Sama sia-sianya menunggu pak Pos yang akan mengantarkan surat Hanafi. Tidak surat buat Wilda. Karena Hanafi memang tidak pernah menulis surat! Sering Wilda untuk mengalah saja. Menelpon duluan. Tidak tahan rasanya didera rindu begini. Entah sudah berapa kali di putarnya nomor telpon Hanafi .....8.....8.....2....6......tapi dia tak sanggup lagi memutar nomor berikutnya. Ada rasa malu menikam hatinya. Membuat mukanya merah walaupun tidak ada orang disana. Bagaimana kalau Hanafi menolaknya? Bagaimana kalau dia sudah menemukan orang lain? Wilda toh tidak apa yang terjadi di sekolah Hanafi. Sekolah mereka berjauhan. Dan disana banyak siswi yang cakep-cakep. Lebih menarik daripada wilda. Siapa tahu Hanafi sudah kecantol salah satu diantara mereka?

                                                *******************************

            Tepuk sorak riuh menerbangkan Wilda kembali ke tempat bangkunya. Dia merasa sangat malu. Sekaligus bangga. Sambutan teman-temannya begitu spontan. Begitu semarak. Ah, Wilda tidak menyangka begitu meriah teman-temannya menanggapi pembacaan sajaknya. Beberapa diantara mereka malah meminjam naskah sajak itu dan menyalinya! Ketika sajak itu kembali ke meja nya, kertas kosong dibawahnya sudah penuh dengan  tulisan teman-temannya. Ada yang memuji. Ada yang menasehati. Malah ada juga yang ikut menangisi kisahnya!

            Tetapi sambutan paling berkesan datang dua hari kemudian. Pada suatu sore di beranda rumahnya. Hanafi muncul begitu saja disana. Wilda hampir tidak mempercayai matanya sendiri ketika melihat Hanafi datang dengan seikat mawar merah ditangannya.tepat seperti yang dikhayalkannya setiap malm. Persisi seperti yang ditumpahkan nya diatas sajaknya.! Hai” sapa Hanafi membuyarkan pesona yang masih menyelimuti Wilda. Jadi dia benar-benar Hanafi, pikir Wilda antara kaget dan haru. Dia benar-benar datang kerumah ku! Tepat seperti yang selalu kuimpikan tiap malam. Tapi kali dia menegurku. Dia bicara. Dia benar-benar Hanafi. Dan ini bukan mimpi! “Apa kabar, Wilda? Tegur Hanafi sekali lagi. Lebih lembut. lebih hangat. “Ba....Baik....wilda menggagap. Dia sudah jauh berubah, desah Wilda dalam hati. Penampilanya. Perawakanya.pakaiannya. dia tampak lebih dewasa. Lebih meyakinkan. Tapi matanya tidak berubah. Cara menatapnya tidak berubah. Seyumnya pun tidak berubah! Dia masih tetap Hanafi yang dulu! Apa yang membawa mu kemari, Han? Ada getar dalam suara Wilda. Ah, itu pasti getar hatinya. Getar-getar bahagia yang membias ke dalam suaranya. Percuma ditutup-tutupi. Hanafi pasti sudah membaca gelepar-gelepar kerinduan yang melonjak-lonjak dimatanya.

            Sajakmu, sahut hanafi sambil tersenyum. Ah, senyum yang manis itu,! Senyum yang selalu dirindukannya.! Sajakku? Kalau Wilda terbelalak, kali ini benar-benar terkejut. Sajakmu yang kau bacakan di depan  kelas dua hari yang lalu. Itu sajak untukku kan? Tapi

            Sajak itu yang membawaku ke mari. Karena sajak mu melenyapkan keraguan yang telah dua tahun menyita keberanian ku untuk datang kesini. Sajak itu mengungkapkan perasaanmu yang sebenarnya kepadaku ,bukan? Kau masih tetap menunggu ku dan mengharapkan kedatangan ku kembali! Eh, apa aku salah lagi?

            Merah paras Wilda mendengarnya. Tapi merahnya pipinya saat itu pasti bukan karena malu. Merah bisa berarti gembira. Bahagia. Cerah. Dan seperti itu pulalah hati Wilda sekarang. “Tapi aku tidak mengerti kenapa sajak ku bisa sampai kepadamu?” Emi menyalin untukku. Emi? Temanmu yang montok itu. Hanafi tersenyum. Kalau kamu tidak cemburu, terus terang kukatakn dia sudah lebih langsing dari dua tahun yang lalu.”

            Wilda,berkata “Kritikmu membuat dia berdiet lebih ketat.” Dan kritikku hampir membuat aku kehilangan kamu. Kamu harus mulai belajar menghargai orang lain, Han . itu sudah kamu katakan dua tahun yang lalu. Tapi buktinya baru kamu liat sekarang! Walaupun tidak cakep, Emi baik. Dia tidak mendendam walaupun kau sering mencelanya.

            Dua tahun yang lalu pun aku sudah insaf, kamu yang benar. Cuma aku malu kemari lagi. Takut di tolak. Untung ada yang mennyampaikan sajakmu kepadaku. Kalau tidak, bagaimana aku tahu kau masih teru menantikan diriku?  Hanafi mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Perlahan tapi pasti Wilda menyambutnya.

                     



    #########################################################

Selasa, 29 Mei 2012

Yang Muda yang Selalu SAlah




NAMANYA sejak lahir Sugiono. Dikampungnya di panggil Oon. Orangtuanya menyebutnya lanang. Tapi di kelas III IPA, dia mempunyai panggilan kesayangan Pak Ion. Soalnya dia guru kimia.dan anak-anak kelas III IPA terkenal pintar memberikan nama kesayangan buat guru-guru faforit mereka.                                                                   

ibu Yeni misalnya, yang mengajar Biologi.  Dia lebih dikenal dengan Ibu Joyce. Soalnya meskipun memakai rok, cara belajarnya mirip pelawak laki-laki yang sedang berlakon sebagai perempuan.

Pak Pandu lain lagi. Anak-anak IPA sudah hampir lupa siapa namanyayang sebenarnya. Karena yang mancung mulutnya bukan hidungnya, dia dipanggil Pak Bemo. Dan karena dia tidak marah, anak-anak berani memanggil demikian meskipun didepan yang punya nama itu sendiri.

Ibu Joyce dan Pak Bemo teermasuk dua diantara sekian gelintir guru-guru faforit kelas III IPA. Soalnya mereka tidak galak. Tidak suka marah-marah. Senangg bergurau. Senang mengobrol walaupun waktu pelajaran. Dan penuh pengertian pada murid-murid yang nyontek waktu ulangan.

Mereka sering tidak masuk jadi anak-anak punya waktu kabur main video game yang saat itu belum dilarang. Mereka senang membonceng murid sampai kerumah kalau pulang sekolah. Tentu saja membonceng anak yang punya mobil, sehingga hubungan antara Guru dan anak didiknya bertambah akrab.

Mereka sering datang terlambat. Jadi kalau ada murid kebetulan datang terlambat, mereka bisa memaklumi. Terlambat bangun. Hujan. Bis yang penuh sesak. Atau  kadang-kadang tanpa alasan pun tak apa-apa.

mereka sama-sama senang tukar menukar majalah. Pinjam meminjam Novel. Dan sama-sama suka jajan.

Ibu Joyce sering memanggil salah seorang muridnya untuk tolong membelikan kue-kue di kantinn waktu istirahat. Soalnya di ruang guru tanya disediakan segelas teh.

Pak Bemo juga hampir tiap hari menyuruh meridnya tolong belikan rokok di depan sekolah. Uangnya sih nanti diganti kalau pesananya sudah datang. Tapi biasanya anak-anak sungkan menerima uang penggantinya.

Masa uang sebegitu saja di ganti! Yang pinjam kan Guru sendiri! Pengganti orangtua di sekolah. Tokoh yang mesti di hormati. Begitu yang diajarkan mereka disekolah maupun di rumah.

Jadi biasanya murid-murid menolakuang yang di beerikan Ibu Joyce dan Pak Bemo. Apa sih artinya sebungkus rokok dan  tiga pisang goreng? Cuma beberapa ratus rupiah aja kok.!

Tetapi kalau kebetulan yang di suruh murid yang prihatin kantongnya seperti fitri, persoalannya jadi lain. Uang yang dimilikonya tiap hari hanya cukup buat naik bus. Bagaimana dia bisa membelikan rokok atau kue untuk gurunya?

Menerima uang pengganti Gurunya dia malu. Teman-temannya kan selalu menolak di ganti. Tidak di terima berarti dia tidak naik bus. Jalan kaki ke rumahnya tidak mungkin. Terlalu jauh. Panas lagi. Kalau dia sakit, uang untuk beli obat berarti uang untuk ongkos naik bis.

Jadi serba salah, karena takutnya ketemu Pak B emo dan Ibu  Joyce waktu  istirahat, fitri sampai bersembunyi saja di kelas. Daripada disuruh beli kue!

Mula-mula fitri juga tidak menyadari keadaan yang sudah bertahun-tahun terjadi disekolahnya itu. Sudah salah kaprah. Yang salah juga sudah tidak kelihatan lagi kesalahnya. Tapi sejak kedatangan Pak Ion, dia menggantikan Pak Bemo yang mendadak harus pulang kedaerahnya untuk menikah. Yang salah kaprah itu sudah mulai kelihatan bopengnya.

Pak Ion tidak pernah datang terlambat. Jadi murid yang terlambat datang ke kelas akan dihukum kalau tidak dapat memberikan alasan yang tepat. Dia tidak pernah menggunakan waktu belajar untuk bergurau atau mengobrol yang tidak perlu. Dia langsung menyobek kertas bagi murid yang ketahuan saat menyontek waktu ulangan.

“Mau jadi apa kamu kalau kebudayaan nyotek di biarkan terus” geramnya sengit. Mau generasi penjiplak ya?

Pak Ion tidak pernah meminta diboncengi murid-muridnya waktu pulang sekolah. Dengan motor bututnya yang hampir setiap hari selalu dijahili anak-anak iseng. Dia hendak membuktikan cara belajar yang paling benar adalh dengan menampilakn wibawa yang dimiliki oleh pendidik itu sendiri.

Tetapi yang paling di kagumi fitri, setip kali menyuruh muridnya untuk membeli sesuatu kalau dia sedang sibuk, Pak Ion selalu menyertakan uangnya. Bila murid itu menolak uangnya, dia akan minta tolong kepada murid lain.

Mula-mula dia memang di benci. Bukan oleh murid-muridnya saja. Bahkan juga oleh beberapa guru. Dia dianggap terlalu kaku.

Ketika baru datang disekolah itu, tidak pernah satu hari saja yang lewat tanpa kerusakan motornya. Kalau bannya tidak kempes, tentu saja kaca spionnya yang hilang. Dia malah pernah di serempet dengan mobil muridnya sendiri yang diskors karena sudah tiga kali ketahuan nyontekdan selalu terlambat masuk kelas.

Ketika dia kelihatanya semakin akrab dengan fitri dan sudah dipergoki sedang ngobrol berdua waktu istirahat, dia nyaris dikeroyok oleh murid-muridnya sendiri.

Awang, pacar fitri yang mengorganisir pengeroyokan itu baru menyesal waktu fitri menjelaskan mengapa mengapa mereka sering mengobrol berdua akhir-akhir ini.

“Kau ingat waktu beberapa minggu yang lalu aku minta ijin pada ibu Joyce untuk keluar sebentar waktu pelajaran Biologi?” tanya fitri sambil menghapus air matanya. Kau menemui dia?” geram awang yang masih meledak-ledak dibakar kemarahannya sendiri. “Aku ke WC. Sakit perut.” Disana kau ketemu dia!” Ya. Aku memang ketemu Pak Ion di WC. Kurang ajar. Bukan seperti yang kusangka.!. abis ngapain kalian disitu?. Mula-mula aku juga sampai kaget. Tidak sangka akan ketemu Pak Ion disana. Lalu kalian berdoa bersama? Ejek Awng sinis. Dia sedang terbatuk-batuk,Wang. Oh.......begitu? lantas kau yang menyeka keringatnya? Dengar dulu! Kasu menuduh kami sejelek itu.” Aku benci padanya! Guru sih begitu. Dia satu-satunya Guru yang pantas di hormati di sekolah ini, Wang!” itu kata mu. Kau masih mau dengar aku tidak? Bentak Fitri kesal.

Sampai dimana tadi? Oh ya, kau kaget melihatnya! Muka mu pasti merah karena malu. Dan kau tersipu-sipu menunduk.....” Dia juga kaget melihatku. Tapi aku lebih terkejut lagi, Wang. Sapu tangan yang dipakinya untuk menutup mulutnya waktu batuk tadi belum sempat di sembunyikannya......dan sapu tangan itu penuh dengan noda-noda darah! Kali Awang tidak menyela. Tidak mengejek. Dia hanya diam mendengarkan.

Hanya kepadaku akhirnya dia mau berterus terang. Dia mengidap tbc, Wang. Air mata mengalir deras ke pipoi Fitri. Kautahu artinya penyakit itu untuk seorang gutu!”

Dia tidak boleh lagi menjadi Guru!” seru Awang dengan mata terbelalak ketakutan. Dia sedang mengingat-ingat sudah berapa kalid ia berhadapan denga Pak Ion dan menghitung sudah berapa juta  kuman tbc yang sudah di transfer ke paru-parunya. Dia bisa menularkan penyakit itu kepada kita semua!”

Itu juga yyang menyusahkan hatinya. Dia harus lapor kepala sekolah! Kalau tidak biar kita yang lapor!” Dia pasti di hentikan, Wang!” Daripada kita kena sanatorium?”

Kau tidak mengerti. Pak Ion justru mengawatirkan kita. Pelajaran Kimia kita ketinggalan sekali. Masih banyak bahan yang belum diajarkan Pak Bemo padahal ujian sudah dekat. Cari guru lain! Aku tidak mau kelas kitaberubah menjadi sanatorium tbc.

Mencari Guru baru itu tidak gampang. Dan Guru baru perlu penyesuaian lagi. Ujian kita sudah dekat. Lebih baik nggak lulus daripada paru-paru ku bolong!” justru itu yang selalu dikeluhkan Pak Ion kepadaku. Wang. Dia bingung. Cuma kepadaku dia bisa mengadu.

Dan aku begitu sering ngobrol di dekatmu. Keluh Awang dalam hati. Entah sudah berapa banyak kuman tbc yang di paru-paru mu. Untung aku belum pernah mencium mu.

Pak Ion memang akhirnya keluar dari sekolah itu. Suatu hari dia dipanggil menghadap ke kantor kepala sekolah. Entah siapa yang mengadu. Salah seorang muridnya. Atau salah seorang rekannya sesama guru. Dia hanya meminta waktu untuk mencarikan seorang pengganti. Seorang Guru kimia yang bertanggung jawab. Selama itu dia berusaha sedapat mungkin tidak mngadakan kontak langsung dengan murid-muridnyaseperti yang selama ini dilakukanya.

Jika dia ingin batuk, dia akan menutup mulutnya baik-baik dengan sehelai sapu tangan tangan dan keluar dari kelas. Dia tidak membuang dahaknya di mana-mana. Dan dia berjanji akan berobat lebih rajin lagi.

Pak Ion memang hanya sebentar mengajrar di sekolah itu. Tetapi kesan yang di tinggalkanya sangat berbekas di hati murid-muridnya. Dalm waktu beberapa bulan saja. Dia telah melakukan  begitu banyak hal untuk mendidik murid-muridnya, jauh lebih berarti daripada yang telah dilakukan oleh guru-guru lain bertahun-tahun sebelumnya.

Di sana Pak Ion telah menerapkan wibawa seorang pendidik adalah pangkal kedisiplinan bagi anak didiknya. Sekaligus dia juga telah membuka mata rekan-rekannya, yang muda tak selalu salah. Kadang-kadang gurulah yang melopori kesalahan.

                                                ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~