Selasa, 29 Mei 2012

Di Kaki Langit-Bintang Masih Bersinar



DITA hampir tidak mengenali teman-temannya sendiri. Rasanya Lina yang datang pada malam perpisahan mereka ini bukan Lina yang setiap hari duduk di sebelahnya. Bukan Lina si biang ribut di kelas III IPA Dua yang paling sering menghadap kke kantor kepala sekolah.
Tidak ada lagi rok seragam kepanjangan yang setiap saat ditarik-tariknya ke atas. Tidak ada bibir tipis yang selalu menciut-ciut kepedasan kalau mereka mencuri makan mangga di dalam kelas. Bibir itu kini dipulas merah menantang. Basah dan segar seperti bibir seorang bintang film. Seragam  lusuhnya pun sudah berubah menjadi sebuah gaun pesta yang semarak.
Penampilannya benar-benar membuat Dita menjadi minder. Apalagi pembicaraannya. “Kemana liburan nanti, Lin?” tanya Agus yang baru datang menggandeng pipit. “Ikut kita yuk,” nimbrung pipit takut tidak kebagian saluran, “Kita mau ke Bali.” “Berdua saja?!” belalak Dono seolah-olah dia yang paling suci. “Bunting lu bari tau rasa.” “Norak ah!” sembur pipit sambil memukul Dono. “Kita pergi ramai-ramai, sembilan orang, tau nggak?!” “Lho, kok nggak ngajak-ngajak? Tambah satu kan jadi sepuluh! Klop! Nggak ada yang kesepian!” “Yang kesepuluh itu mesti cewek, Bung! Makanya kita ajak Lina!” “Lo tunggu aja sampai tahun depan deh, Don!” kata Agus separuh mengejek, “Kalau kurang orang, kita kurang kita pasti tau alamatmu. Ntar deh gue calling!” “Sialan, gue Cuma dianggap cadangan!” “Cadang juga udah bagus kok!” Agus tertawa geli. “Biasanya nggak pernah kepilih!” “Kenapa sih kalian alergi banget sama dia?” sela Ita pura-pura iba. Kasihan dong Dono nggak pernah diajak. Gitu-gitu kan tampangnya lumayan buat ngusir nyamuk.”  Wah, payah kalau bawa dia. Ngutang melulu! Ngajak dia mah Cuma nyempit-nyempitintin aja!” SADIS, Dono menyeringai pahit. “Mentang-mentang gue Kasta Paria!” Gimana, Lin? Mau ikut kita nggak? Yono masih nganggur tuh. Uh, sori deh, Pit! Babe gue ngajak nengokin abang!” Lha, liburan sih di pakai buat nengok abang!  Apa serunya? Abang apa dulu nih! Siapa tahu Lina mau berpantun-pantun disana! Pulang-pulang kita dapat undangan!” Sembarangan ngomong! Ini benar-benar abang gue kok! Sedarah daging!” Nah ngapain, di tengok-tengok, Lin? Nggak bosan? Tanya dulu dong, abangnya tinggsl dimana!” Tia tersenyum mengejek. Lina sih mana mau liburan ke  Bali? Dia kan mainannya luar negri melulu” Memangnya abang mu dimana sih, Lin? Desak Pipit ingin tahu. Di Paris. Nah, betul kan apa yang aku bilang? Tia tertawa lebar. Lina mana mau liburan ke Bali kalau Babenya udah nyiapin tiket ke Paris! Diam-diam Dita menyingkir dari sana. Hatinya terasa perih. Temen-temennya sudah punya rencana untuk menikmati liburan mereka masing-masing. Orangtua mereka sudah menyiapkan hadiah untuk atas berhasiknya mereka menempuh ujian SMA. Rebcab liburan mereka sudah jelas sejelas cita-cita mereka. Sedangkan Dita? Jangankan  merencanakan mau pergi kemana liburan ini. Mau melanjutkan pelajaran kemana saja dia belum tahu. Sudah lama dia ingi jadi  Dokter. Semenjak duduk di bangku SD. Dan keinginannya makin menggelora saat adiknya meninggal karena sakit Tipus.
Seandainya ada Dokter di rumah mereka—mungkin Elina masih dapat tertolong. Seandainya dia tidak telat di obati, mungkin ususnya tidak pecah. Mungkin dia masih ada sampai sekarang. Sendainya Cuma gara-gara kurang perhatian dan kekurang tahuan Ayah dan Ibunya. Ayah sibuk mencari uang. Pergi pagi-pagi. Pulangnya sampai larut malam. Jangankan memperhatikan penyakit Elina. Makan saja kadang-kadang tidak sempat.
Ibu lain lagi. Repot mengurus rumah. Mengurus tujuh orang adik D ita yang masih kecil-kecil. Dan sibuk memutar uang belanja yang hanya sedikit aadik-adiknya tidak menangis kelaparan.  Darimana Ibu yang buta huruf itu tahu  kalau Elina kena Tipus?
Sekarang enam tahun telah berlalu. Dia telah berhasil menempuh ujian SMA—nya dengan baik. Dia sudah lulus. Tinggal memilih fakultas yang sesuai dengan keinginannya. Dan dia tidak usah berpiki dua kali seandainya Cuma nuraninya saja yang harus berbicara.
Cita-citanya sudah gemilang dia ingi jadi dokter. Dia ingin tangan inilah yang merawat orangtuanya kalau mereka sakit nanti. Dia ingi tangan ini pulalah yang akan menolong oramg-orang yang sakit seperti adiknya.
Tetapi menuntut ilmu di negeri ini bukan Cuma soal otak.  Bukan semata-mata kemampuan belajar yang di butuhkan. Dita membutuhkan biaya. Dan ayahnya suddah tua. Diambang lima puluh, karirnya tidak bertambah. Bukannya maju, malah nyaris berhenti. Macet. Padahal sebagai pegawai negeri. Sebentar lagi ayah sudah harus pensiun.
Keadaan mereka semakin sulit. Harga-harga terus di sesuaikan, entah disesuaikan dengan apa. Yang jelas, dari dulu sampai sekarrang tak pernah sesuai dengan gaji ayah. Adik-adiknya masih enam orang lagi. Yang paling besar baru duduk di kelas satu SMA. Laki-laki pula. Minimal dia harus menyelesaikan SMA nya. Kalau tidak, bagaimana dia mencari uang kalau ijazah SMA saja dia tidak punya? Adiknya yang kecil memang sudah dudk di kelas satu SMA. Tapi dia masih memerlukan beberapa tahun lagi unuk dapat bekerja. Yang dua lagi malah masih duduk di bangku SMP. Sisanya di SD. Masih kecil-kecil. Belum ada yang diharapkan membantu ayah mencari uang. Lalu siapa lagi yang bisa di harapkan selain Dita? Lho, kok udah  nangis, Ta? Goda Lina yang melihat Dita pergi diam-diam dan kepala tunduk. “Perpisahannya kan belum  mulai.”  Dia tidak menjawab. Dia hanya menyingkir ke sudut tanpa mengangkat wajahnya sekilat pun. Diam-diam Lina mengikutinya. Kamu juga jepingin ikut ke Bali,Ta? Bisik Lina hati-hati. Dita menggeleng sedih. Aku bukan memikirkan, liburan, Lin. Lalu apa yang kau sedihkan?-----aku bingung mu kemana habis SMA ini.-----memangnya mau melanjutkan ke mana Tan?
Dita menggeleng kepalanya dan menunduk semakin dalam lagi. Coba-coba saja ikut ujian saringan PP I, Ta. Otakmu kan encer. Siapa tahu di terima. Di universitas negeri kan biayanya ringan.------Barangkali aku harus kerja, Lin. Orangtua ku sudah tidak bisa membiayai. -----tapi kamu mau kerja apa, Ta? Laku  apa anak SMA semacam  kita? Dimana mereka mau  menempatkan. Tenaga lulusan SMA? Sarjana saja banyak yang  nganggur kok! Paling-paling jadi sales girl!” Jadi apa pun Lin, paling tidak aku sudah dapat membantu orangtua ku. Dan tidak menjadi beban mereka lagi. Adik-adikku banyak. Lin. Semuanya masih perlu biaya. Tapi sayang kan bakat mu terbuang sia-sia begitu. Kamu kan pintar,Ta. Aku saja yang bodoh kepingin sekolah. Bersyukurlah kepada tuhan karena kamu masih punya kesempatan untuk memilih cita-citamu sendiri Lin. Sahut Dita lirih. Berterima kasilah juga kepada orangtua mu yang telah memberikan kesempatan itu kepadamu. Kalau kamu sudah kuliah nanti, jangan lupa, begitu banyak orang  yang merindukan tempat mu disana. Pergunakanlah kesempatanmu sebaik-baiknya. Kalau kamu gagal, ingatlah, kamu bukan hanya berhutang kepada orang tua mu, kamu juga berhutang kepada anak  lain yang harusnya dapat menggantikan tempatmu.
Kamu sendiri mau kemana , Ta? Dita tak menjawab, Dia memalingkan wajahnya ke jendela. Di lluar, sepotong langit hitam membentang gelap. Kegelapan yang tidak menjanjikan apa-apa kecuali kesuraman. Seperti itu jugalah masa depannya. Tetapi Dita tidak mau berputus asa. Di sana, di kaki langit yang pekat, mungkinkah sebuah bintang masih bersinar? Jauh di batas cakrawala, cita-citanya masih mengintai, meskipun dia sendiri tidak tahu entah kapan dia baru dapat meraihnya.
Mungkinkah suatu hari nanti, kalau dia berhasil membiayai studinya dengan penghasilannya sendiri? Mungkinkah dia bisa belajar sambil bekerja? Siapa tahu suatu hari nanti, cita-citanya dapat tercapai, meskipun jalan ke sana penuh dengan onak duri!
                                                ****************

0 komentar: