DITA hampir tidak mengenali teman-temannya sendiri.
Rasanya Lina yang datang pada malam perpisahan mereka ini bukan Lina yang
setiap hari duduk di sebelahnya. Bukan Lina si biang ribut di kelas III IPA Dua
yang paling sering menghadap kke kantor kepala sekolah.
Tidak ada lagi rok seragam kepanjangan yang setiap
saat ditarik-tariknya ke atas. Tidak ada bibir tipis yang selalu menciut-ciut
kepedasan kalau mereka mencuri makan mangga di dalam kelas. Bibir itu kini
dipulas merah menantang. Basah dan segar seperti bibir seorang bintang film.
Seragam lusuhnya pun sudah berubah
menjadi sebuah gaun pesta yang semarak.
Penampilannya benar-benar membuat Dita menjadi
minder. Apalagi pembicaraannya. “Kemana liburan nanti, Lin?” tanya Agus yang
baru datang menggandeng pipit. “Ikut kita yuk,” nimbrung pipit takut tidak
kebagian saluran, “Kita mau ke Bali.” “Berdua saja?!” belalak Dono seolah-olah
dia yang paling suci. “Bunting lu bari tau rasa.” “Norak ah!” sembur pipit
sambil memukul Dono. “Kita pergi ramai-ramai, sembilan orang, tau nggak?!”
“Lho, kok nggak ngajak-ngajak? Tambah satu kan jadi sepuluh! Klop! Nggak ada
yang kesepian!” “Yang kesepuluh itu mesti cewek, Bung! Makanya kita ajak Lina!”
“Lo tunggu aja sampai tahun depan deh, Don!” kata Agus separuh mengejek, “Kalau
kurang orang, kita kurang kita pasti tau alamatmu. Ntar deh gue calling!”
“Sialan, gue Cuma dianggap cadangan!” “Cadang juga udah bagus kok!” Agus
tertawa geli. “Biasanya nggak pernah kepilih!” “Kenapa sih kalian alergi banget
sama dia?” sela Ita pura-pura iba. Kasihan dong Dono nggak pernah diajak.
Gitu-gitu kan tampangnya lumayan buat ngusir nyamuk.” Wah, payah kalau bawa dia. Ngutang melulu!
Ngajak dia mah Cuma nyempit-nyempitintin aja!” SADIS, Dono menyeringai pahit.
“Mentang-mentang gue Kasta Paria!” Gimana, Lin? Mau ikut kita nggak? Yono masih
nganggur tuh. Uh, sori deh, Pit! Babe gue ngajak nengokin abang!” Lha, liburan
sih di pakai buat nengok abang! Apa
serunya? Abang apa dulu nih! Siapa tahu Lina mau berpantun-pantun disana!
Pulang-pulang kita dapat undangan!” Sembarangan ngomong! Ini benar-benar abang
gue kok! Sedarah daging!” Nah ngapain, di tengok-tengok, Lin? Nggak bosan?
Tanya dulu dong, abangnya tinggsl dimana!” Tia tersenyum mengejek. Lina sih
mana mau liburan ke Bali? Dia kan
mainannya luar negri melulu” Memangnya abang mu dimana sih, Lin? Desak Pipit
ingin tahu. Di Paris. Nah, betul kan apa yang aku bilang? Tia tertawa lebar.
Lina mana mau liburan ke Bali kalau Babenya udah nyiapin tiket ke Paris!
Diam-diam Dita menyingkir dari sana. Hatinya terasa perih. Temen-temennya sudah
punya rencana untuk menikmati liburan mereka masing-masing. Orangtua mereka
sudah menyiapkan hadiah untuk atas berhasiknya mereka menempuh ujian SMA.
Rebcab liburan mereka sudah jelas sejelas cita-cita mereka. Sedangkan Dita?
Jangankan merencanakan mau pergi kemana
liburan ini. Mau melanjutkan pelajaran kemana saja dia belum tahu. Sudah lama
dia ingi jadi Dokter. Semenjak duduk di
bangku SD. Dan keinginannya makin menggelora saat adiknya meninggal karena
sakit Tipus.
Seandainya ada Dokter di rumah mereka—mungkin Elina
masih dapat tertolong. Seandainya dia tidak telat di obati, mungkin ususnya
tidak pecah. Mungkin dia masih ada sampai sekarang. Sendainya Cuma gara-gara
kurang perhatian dan kekurang tahuan Ayah dan Ibunya. Ayah sibuk mencari uang.
Pergi pagi-pagi. Pulangnya sampai larut malam. Jangankan memperhatikan penyakit
Elina. Makan saja kadang-kadang tidak sempat.
Ibu lain lagi. Repot mengurus rumah. Mengurus tujuh
orang adik D ita yang masih kecil-kecil. Dan sibuk memutar uang belanja yang
hanya sedikit aadik-adiknya tidak menangis kelaparan. Darimana Ibu yang buta huruf itu tahu kalau Elina kena Tipus?
Sekarang enam tahun telah berlalu. Dia telah
berhasil menempuh ujian SMA—nya dengan baik. Dia sudah lulus. Tinggal memilih
fakultas yang sesuai dengan keinginannya. Dan dia tidak usah berpiki dua kali
seandainya Cuma nuraninya saja yang harus berbicara.
Cita-citanya sudah gemilang dia ingi jadi dokter.
Dia ingin tangan inilah yang merawat orangtuanya kalau mereka sakit nanti. Dia
ingi tangan ini pulalah yang akan menolong oramg-orang yang sakit seperti
adiknya.
Tetapi menuntut ilmu di negeri ini bukan Cuma soal
otak. Bukan semata-mata kemampuan
belajar yang di butuhkan. Dita membutuhkan biaya. Dan ayahnya suddah tua.
Diambang lima puluh, karirnya tidak bertambah. Bukannya maju, malah nyaris
berhenti. Macet. Padahal sebagai pegawai negeri. Sebentar lagi ayah sudah harus
pensiun.
Keadaan mereka semakin sulit. Harga-harga terus di
sesuaikan, entah disesuaikan dengan apa. Yang jelas, dari dulu sampai sekarrang
tak pernah sesuai dengan gaji ayah. Adik-adiknya masih enam orang lagi. Yang
paling besar baru duduk di kelas satu SMA. Laki-laki pula. Minimal dia harus
menyelesaikan SMA nya. Kalau tidak, bagaimana dia mencari uang kalau ijazah SMA
saja dia tidak punya? Adiknya yang kecil memang sudah dudk di kelas satu SMA.
Tapi dia masih memerlukan beberapa tahun lagi unuk dapat bekerja. Yang dua lagi
malah masih duduk di bangku SMP. Sisanya di SD. Masih kecil-kecil. Belum ada
yang diharapkan membantu ayah mencari uang. Lalu siapa lagi yang bisa di
harapkan selain Dita? Lho, kok udah
nangis, Ta? Goda Lina yang melihat Dita pergi diam-diam dan kepala
tunduk. “Perpisahannya kan belum
mulai.” Dia tidak menjawab. Dia
hanya menyingkir ke sudut tanpa mengangkat wajahnya sekilat pun. Diam-diam Lina
mengikutinya. Kamu juga jepingin ikut ke Bali,Ta? Bisik Lina hati-hati. Dita
menggeleng sedih. Aku bukan memikirkan, liburan, Lin. Lalu apa yang kau
sedihkan?-----aku bingung mu kemana habis SMA ini.-----memangnya mau
melanjutkan ke mana Tan?
Dita menggeleng kepalanya dan menunduk semakin dalam
lagi. Coba-coba saja ikut ujian saringan PP I, Ta. Otakmu kan encer. Siapa tahu
di terima. Di universitas negeri kan biayanya ringan.------Barangkali aku harus
kerja, Lin. Orangtua ku sudah tidak bisa membiayai. -----tapi kamu mau kerja
apa, Ta? Laku apa anak SMA semacam kita? Dimana mereka mau menempatkan. Tenaga lulusan SMA? Sarjana saja
banyak yang nganggur kok! Paling-paling
jadi sales girl!” Jadi apa pun Lin, paling tidak aku sudah dapat membantu
orangtua ku. Dan tidak menjadi beban mereka lagi. Adik-adikku banyak. Lin.
Semuanya masih perlu biaya. Tapi sayang kan bakat mu terbuang sia-sia begitu.
Kamu kan pintar,Ta. Aku saja yang bodoh kepingin sekolah. Bersyukurlah kepada
tuhan karena kamu masih punya kesempatan untuk memilih cita-citamu sendiri Lin.
Sahut Dita lirih. Berterima kasilah juga kepada orangtua mu yang telah
memberikan kesempatan itu kepadamu. Kalau kamu sudah kuliah nanti, jangan lupa,
begitu banyak orang yang merindukan
tempat mu disana. Pergunakanlah kesempatanmu sebaik-baiknya. Kalau kamu gagal,
ingatlah, kamu bukan hanya berhutang kepada orang tua mu, kamu juga berhutang
kepada anak lain yang harusnya dapat
menggantikan tempatmu.
Kamu sendiri mau kemana , Ta? Dita tak menjawab, Dia
memalingkan wajahnya ke jendela. Di lluar, sepotong langit hitam membentang
gelap. Kegelapan yang tidak menjanjikan apa-apa kecuali kesuraman. Seperti itu
jugalah masa depannya. Tetapi Dita tidak mau berputus asa. Di sana, di kaki
langit yang pekat, mungkinkah sebuah bintang masih bersinar? Jauh di batas
cakrawala, cita-citanya masih mengintai, meskipun dia sendiri tidak tahu entah
kapan dia baru dapat meraihnya.
Mungkinkah suatu hari nanti, kalau dia berhasil
membiayai studinya dengan penghasilannya sendiri? Mungkinkah dia bisa belajar
sambil bekerja? Siapa tahu suatu hari nanti, cita-citanya dapat tercapai,
meskipun jalan ke sana penuh dengan onak duri!
****************
0 komentar:
Posting Komentar