Sabtu, 02 Juni 2012

Pengorbanan Hati Setulus Cinta




PASTI ada persoalan yang sangat penting. Pikir Lestari sambil duduk hati-hati di hadapan orangtuanya. Kalu tidak, Ayah-Ibu  tidak begini serius memanggil ku. Ada yang ingin Ayah bicarakan dengan kau, Tari, kata Ayah sambil mematikan rokoknya. Mengenai dirimu. Tidak biasanya, pikir Tari heran. Biasanya dia hanya membicarakan Marni. Kemarin Dokter Joko membawa orangtuanya kemari. Melamar Marni. Karena Marni tidak keberatan. Ayah pun tidak bisa menolak. Mereka akan segera menikah. Tapi itu bukan urusan ku, pikir Tari  kesal. Kapan mereka baru mau berhenti membicarakan Marni dan menoleh kepada ku.? Kalau menurut urutan umur, kau yang seharusnya menikah lebih dahulu, Tari, sambar Ibu cepat-cepat, ketika di lihatnya dahi Tari mulai berkerut. Dan Ayah tidak mau mendengar segala macam omong kosong., seolah-olah kami menelantarkan engkau karena engkau hanya anak angkat.” Jadi itulah persoalanya, keluh Tari sambil menunduk.

            Dokter Joko tidak dapat menunggu terlalu lama, Tari. Dia harus segera ke daerah untuk menjalankan tugasnya. Ke daerah, teriak Tari dalam hati. Sungguh dia tidak dapat membayangkan Marni yang demikian manja dan pesolek sanggup hidup sederhana mendampingi suaminya di daerah! Kau belum memikirkan jodoh mu, Tari? Tanya Ibu lemah lembut. Temanmu yang sering kemari itu, siapa ya namanya , Ibu lupa? Adi, sahut Tari tersendat. O ya.... Adi, ada secercah sinar mengintai dari balik mata Ibunya. Dia cukup memenuhi syarat, kan? Maksud Ibu, dia cukup ganteng, sopan, sabar dan.....,Ibuu dengar sebentar lagi dia akan memperoleh gelarnya. Memang, pikir Tari jemu. Adi memang baik, sopan, ganteng. Tapi.........,,dia belum pernah  melamarku, bicara soal cinta saja belum pernah!  Lalu darimana aku harus mulai?

            Semakin dekat dengan hari pernikahan Marni, semakin tebal mendung yang menyelimuti wajah Lestari. Persiapan-persiapan pesta  itu seolah-olah berlomba dengan niatnya untuk  mendapatka  seorang suami.  Alangkah  malunya jika  sampai  hari  pernikahan  Marni nanti, dia belum juga berhasil membawa  seorang laki-laki ke hadapan oang tuanya.

                        ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

            Saya tidak yakin Marni bisa sanggup hidup di daerah. Sudah tiga kali Tari memancing-mancing reaksi Adi.  Tetapi lelaki dungu itu....,oh! Barangkali tak ada tempat terluang lagi di otaknya., kecuali untuk rumus-rumus kimianya! Ya , saya dengar dia mau menikah, sahut Adi tanpa perasaan apa-apa di wajahnya. Dengan dokter Joko, kan? Oh, kau tahu banyak tentang Marni ya? Desah Tari dengan sekelumit rasa tidak enak di hatinya. Dia sendiri yang cerita padamu? Saya kira Marni tidak menyukai laki-laki seperti dia. Tari merasa  ragu,  benarkah dia mendengar suara  cemburu dalam suara Adi. Dia pilihan orangtua mu, kan? Bagaimanapun , gerutu Tari mengkal. Saya mengagumi keberaniannya. Tidak mudah melamar gadis seperti  Marni. Tapi Joko berani mencoba. Dia tidak menunggu sampai Marni menyerahkan diri kepadanya. Saya benci laki-laki yang penakut. Yang Cuma menunggum menunggu saja sampai tua. ! sampai gadis yang dicintainya di ambil orang!

            Tentu sahut Adi tanpa mengetahui kemana arah kata-kata Tari. Joko punya modal untuk itu. Dia dokter, ayahnya pejabat tinggi, dan ibunya direktris dua perusahaan yang bonafid. Kalau kau menunggu sampai punya modal, geram Tari tanpa dapat menahan dirinya lagi. “Kau sudah kehabisan jalan! Sampai berkarat gadis mu menunggu, kau belum sempat juga melamarnya!” Adi memandang , Tari dengan keheranan-heranan. Belum pernah di lihat gadis itu sesengit ini. Biasanya dia begitu tenang. Begitu sabar. Dan.....,begitu menyejukan. Tetapi hari ini....,ahmengapa dia hari ini?

            ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
            
          “Kau sedang menunggu seseorang,” kata Marni. Suaranya tajam menyelidik. Dan matanya ......,oh, mata yang indah itu! Tarri benci melihatnya. Mata itu demikian hidup, berbinar-binar, seolah-olah sejuta bintang mengintip diana. Lebih-lebih sekarang. Ketika rasa ingin tahu yang berlebihan membuat mata itu lebih bersinar lagi. Bukan urusanmu, sahut Tari dingin. Bulan depan kau menikah. Tak pantas lagi kau mengintip-intip pacar orang. Marni tercenganng sedetik. Tapi di detik lain, tawanya meledak, keras. Cerah. Mengguncang-guncang bahu dan dada nya yang padat berisi itu. Katanya di sela-sela tawanya. Sekarang aku tahu sebabnya! Si tolol itu! Adi belum melamarmu juga ya? Seharusnya Ibu tak perlu cerita kepadanya,  geram Tari dengan muka yang merah padam. Ibu selalu membuat aku malu! Jangan takut anak manis, ! Marni mencubit pipinya. Tari mengelak dengan sengit. Dia selalu muak di perlakukan seperti anak kecil begini. Aku bisa menolong mu. Bicara dengan Romeo mu yang hampir pikun itu, mau? Terima kasih, sahut Tari ketus. Aku sudah cukup berterima kasih kalau kau  lekas-lekas menyingkir dari sini. Sekarang. Sebentar lagi tamu ku datang. Tamu? Belalak Marni heran. Sudah berhenti tawanya. Tamu istimewa rupanya , ya? Tamu siapa, Tari? Desak ibu yang tiba-tiba muncul dari dalam. Kenapa tidak kau katakan pada Ibu? Lihat, mebel kita sudah begini kotor! Celaka, berungut Tari kesal. Ibu selalu muncul disaat yang tidak aku harapkan. Dan Ibu selalu mencuri dengar percakapan kami! Sebenarnya tidak ingin saya katakan, katanya segan. Seorang teman dari surabaya. Katanay mau mampir sebentar. Kau punya teman di surabaya? Belalak Marni makin heran. Sahabat penaku, “ sahut Tari setengah terpaksa. Sahabat pena? Marni mebeliak lebih lebar lagi. Tari mengeluh dalam hati. Dalam keadaan sejelek-jeleknya pun, Marni masih tetap cantik. Beruntung benar menjadi orang cantik. Mulut yang terlalu lebar buat orang lain, malah sexy bila jadi mulutnya.! Kau tak pernah bilang punya sahabat pena! Buat apa bilang? Jadi sengaja kau rahasiakan! Tentu, sahut Tari terus terang. Takut keduluan lagi olehmu. Sengaja aku pakai alama rumah temanku. Sudalah, potong Ibu tak sabar. Temanmu itu, yang mau datang nanti, siapa namanya Tari? Paul. Tari menghembuskan sepotong nama itu bersama hembusan napasnya.

            Nah, Paul harus kita undang makan di sini! Kata Ibu...., ah, kenapa mesti repot-repot begini? Dia teman biasa kok! Maksud saya.... Ibu tahu  maksudmu! Potong ibu pula. Kalau kau tak punya keberanian, sampai kapan kau mau menunggu? Kau harus menunggu sampai ada pria yang terpaksa menoleh kepadamu  karena sudah tidak ada pilihan lain? Sudalah, sekarang kau pilih pakaian yang terbaik di lemari mu, kalau perlu kau boleh pinjam baju Marni...., ah, tidak. Kau beli saja baju baru di toko.! Aku ikut! Sambar Marni gembira. Aku bisa membantu memilihkan baju yang cocok untuk kulitmu yang berwarna tembaga! Tidak, potong Ibu tegas. Kau pergi pesan  makanan ke rumah makan di sebrang. Percuma melawan perintah Ibunya. Percuma mencegah kehendak seorang Ibu yang rela melakukan apa saja demi memperoleh menantu yang di idam-idamkannya. Lebih baik dia lekas-lekas pergi mencari baju  daripada membuang waktu bersih tegang leher lebih lama lagi. Dan ketika pulang, Tari menjadi amat heran. Makanan telah terhidang lengkap di atas meja makan. Ayahh telah menunggu dengan tidak sabar di kepala meja. Dan Ibu telah tiga kali mengintai keluar dari balik jendela. Tetapi yang di tunggu-tunggu belum muncul juga.! Pukul berapa katanay adia mau datang, Tari. Katanaya sekitar pukul sepuluh, Bu, sahut Tari antara sedih dan malu. Sekarang sudah hampir pukul dua belas,dumal Ayah sambil menguap. Kalau belum apa-apa sudah tidak menepati janji begini....” sudalah! Potong Ibu segera. Jangan menggerutu terus. Barang kali ada halangan di jalan.

            Dari tadi si Marni tidak kelihatan, kata Ayah tiba-tiba. Di mana dia? Kata si Minah pergi dengan temannya . waktu Marni pulang beli makanan tadi, temannya sudah menunggu di sini. Sebulan lagi menikah, masih kau ijin kan dia  keluyuran dengan teman-temannya? Mana aku tahu? Balas Ibu kesal. Tadi kan aku pergi menjemput mu ke kantor. Telepon kita  rusak, tidak bisa menghubungi mu lewat telepon! Dan mereka mulai lagi mempertengkarkan Marni. Membicarakan marni. Marni. Marni! Lupa kepada Lestari, yang duduk salah, berdiri pun salah. Lupa kepada Lestari yang dengan berlinang air mata berdoa dari dalam kamarnya, semoga ada angin yang menghembuskan Paul kerumahnya. Sia-sia. “Paul tidak akan pernah muncul. Tentu saja Tari tak pernah berpikir, mimpi pun tidak, Paul telah datang kerumahnya dan bertemu dengan Marni!” Merasa malu bertemu muka dengan orang tuanya, Lestari menghindari dia dengan mengurung diri berhari-hari di dalam kamarnya.sampai malam  itu, tiga hari sebelum pernikahan Marni, ayah-ibunya menerjang masuk kedalm kamarnya tanpa mengetuk pintu lagi! Ayah ingi bicara, Tari! Suara ayah gemetar di desak amarah yang meluap. “So....., soal apa, ayah?”  Tanya Tari gugup. Ngeri melihat mata ayahnya yang merah berkilat dijilat api kemarahan. Sia-sia di menerka dosa apa yang telah di perbuatnya.

            “Kau harus menolong kami, Tari. Kau harus menutup malu ini.!”  Tari masih tertegun bingung ketika ibunya memeluk dia sambil menangis. Marni kabur, Tari! Dia mengirim surat dari ....,dari surabaya? Sura....baya?? anak celaka itu minta kita membatalkan pernikahan! Geram ayah sengit. Tapi kelurga Santoso tidak mau menerima alasan kita, Tari.” Seluruh keluarga mereka telah lengkap berkumpul di jakarta. Mereka tidak peduli Joko akan menikah dengan siapa, pokoknya pernikahan harus tetap berlangsung...., dan kau...,dan kau telah di setujui untuk....,untuk menggantikan adik mu....,” Tari tertegun. Menikah? Dengan Joko? Dengan calon suami adiknya? Tangisnya baru meledak ketika kesadaran akan nasibnya perlahan-lahan mulai menjalar ke otaknya.  Duli Marni selalu memberikan pakaian-pakaian bekasnya, pakaian-pakaian yang sudah tidak di sukainya kepada Tari. Dan sekarang....,sekarang bahkan dia memberikan calon suaminya, calon suami yang tidak di sukainya, untuk Lestari. Alangkah hinanya! Seperti tukang loak yang selalu menerima barang-barang bekas! Dan dia harus puas denga sisa-sisa adiknya! “Tari memang Cuma anak pungut, Ayah, ratapnya di sela-sela tangisnya. Tari ingin membalas budi pada Ayah dan Ibu!”  Tapi bukan dengan cara seperti ini! Marni telah menghancurkan sebelah hatiku, Tari. Janganlah kau remukan lagi yang sebelah lagi. Selama ini Ayah tidak pernah minta apa-apa kepadamu, bukan? Semalam-malaman Tari menangis menyesali nasibnya. Separuh umurnya telah di lewati nya sebagai anak angkat yang harus selalu mengalah kepada adiknya. Dan kini, separuh umurnya lagi harus di korbankannya sebagai istri laki-laki yang tidak mencintainya!

            Tetapi samapai disini pun penderitaanya belum berakhir. Ketika persiapan pernikahan telah selesai, ketika semua undangan telah di bagikan, Marni tiba-tiba saja muncul kembali di tengah-tengah mereka!” Maafkan aku, Tari!” Tangis Marni di atas bahu kakanya. Aku telah merampas milikmu! si Paul itu sungguh terkutuk! Dia hampir berhasil melarikan aku ke singapura! Dia bajinga, Tari, penipu! “Sudalah”, keluh Tari sambil memikirkan nasib buruk macam apa lagi yang belum pernah menjenguknya. Aku pun tak merampas milikmu. Aku rela menyerahkan Joko ke tanganmu. “Syukurlah kau telah kembali, Marni.” Ibu merangkul Marni sambil menangis. Mudah-mudahan semua dapat di selesaikan secara kekeluargaan. “Jadi bagaimana ini?” Geram Ayah jemu.” Apakah Joko harus kembali menikah dengan Marni? Bagaimana dengan undangan yang telah di sebarkan?” Maaf”, sela dokter Joko tiba-tiba. “Saya tetap akan menikah dengan Lestari. Pernikahan bukan tali senar yang bisa di pindah-pindahkan.”

            “Tapi pernikaha bukan alat untuk balas dendam! Sya masih punya harga diri! Sahut Tari tega. “Tentu. Joko tersenyum lembut ke pada Tari.” Justru kau memiliki harga diri aku jadi tertarik padamu. Bukan karena mendendam kepada Marni. Saya membutuhkan istri adalah kau, Tari. Untuk mendampingi saya bertugas di pedalaman kalimantan. Dan kata Ayah, cinta bisa menjelma setelah menikah, bukan?”

0 komentar: