Sabtu, 02 Juni 2012

Pengorbanan Hati Setulus Cinta




PASTI ada persoalan yang sangat penting. Pikir Lestari sambil duduk hati-hati di hadapan orangtuanya. Kalu tidak, Ayah-Ibu  tidak begini serius memanggil ku. Ada yang ingin Ayah bicarakan dengan kau, Tari, kata Ayah sambil mematikan rokoknya. Mengenai dirimu. Tidak biasanya, pikir Tari heran. Biasanya dia hanya membicarakan Marni. Kemarin Dokter Joko membawa orangtuanya kemari. Melamar Marni. Karena Marni tidak keberatan. Ayah pun tidak bisa menolak. Mereka akan segera menikah. Tapi itu bukan urusan ku, pikir Tari  kesal. Kapan mereka baru mau berhenti membicarakan Marni dan menoleh kepada ku.? Kalau menurut urutan umur, kau yang seharusnya menikah lebih dahulu, Tari, sambar Ibu cepat-cepat, ketika di lihatnya dahi Tari mulai berkerut. Dan Ayah tidak mau mendengar segala macam omong kosong., seolah-olah kami menelantarkan engkau karena engkau hanya anak angkat.” Jadi itulah persoalanya, keluh Tari sambil menunduk.

            Dokter Joko tidak dapat menunggu terlalu lama, Tari. Dia harus segera ke daerah untuk menjalankan tugasnya. Ke daerah, teriak Tari dalam hati. Sungguh dia tidak dapat membayangkan Marni yang demikian manja dan pesolek sanggup hidup sederhana mendampingi suaminya di daerah! Kau belum memikirkan jodoh mu, Tari? Tanya Ibu lemah lembut. Temanmu yang sering kemari itu, siapa ya namanya , Ibu lupa? Adi, sahut Tari tersendat. O ya.... Adi, ada secercah sinar mengintai dari balik mata Ibunya. Dia cukup memenuhi syarat, kan? Maksud Ibu, dia cukup ganteng, sopan, sabar dan.....,Ibuu dengar sebentar lagi dia akan memperoleh gelarnya. Memang, pikir Tari jemu. Adi memang baik, sopan, ganteng. Tapi.........,,dia belum pernah  melamarku, bicara soal cinta saja belum pernah!  Lalu darimana aku harus mulai?

            Semakin dekat dengan hari pernikahan Marni, semakin tebal mendung yang menyelimuti wajah Lestari. Persiapan-persiapan pesta  itu seolah-olah berlomba dengan niatnya untuk  mendapatka  seorang suami.  Alangkah  malunya jika  sampai  hari  pernikahan  Marni nanti, dia belum juga berhasil membawa  seorang laki-laki ke hadapan oang tuanya.

                        ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

            Saya tidak yakin Marni bisa sanggup hidup di daerah. Sudah tiga kali Tari memancing-mancing reaksi Adi.  Tetapi lelaki dungu itu....,oh! Barangkali tak ada tempat terluang lagi di otaknya., kecuali untuk rumus-rumus kimianya! Ya , saya dengar dia mau menikah, sahut Adi tanpa perasaan apa-apa di wajahnya. Dengan dokter Joko, kan? Oh, kau tahu banyak tentang Marni ya? Desah Tari dengan sekelumit rasa tidak enak di hatinya. Dia sendiri yang cerita padamu? Saya kira Marni tidak menyukai laki-laki seperti dia. Tari merasa  ragu,  benarkah dia mendengar suara  cemburu dalam suara Adi. Dia pilihan orangtua mu, kan? Bagaimanapun , gerutu Tari mengkal. Saya mengagumi keberaniannya. Tidak mudah melamar gadis seperti  Marni. Tapi Joko berani mencoba. Dia tidak menunggu sampai Marni menyerahkan diri kepadanya. Saya benci laki-laki yang penakut. Yang Cuma menunggum menunggu saja sampai tua. ! sampai gadis yang dicintainya di ambil orang!

            Tentu sahut Adi tanpa mengetahui kemana arah kata-kata Tari. Joko punya modal untuk itu. Dia dokter, ayahnya pejabat tinggi, dan ibunya direktris dua perusahaan yang bonafid. Kalau kau menunggu sampai punya modal, geram Tari tanpa dapat menahan dirinya lagi. “Kau sudah kehabisan jalan! Sampai berkarat gadis mu menunggu, kau belum sempat juga melamarnya!” Adi memandang , Tari dengan keheranan-heranan. Belum pernah di lihat gadis itu sesengit ini. Biasanya dia begitu tenang. Begitu sabar. Dan.....,begitu menyejukan. Tetapi hari ini....,ahmengapa dia hari ini?

            ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
            
          “Kau sedang menunggu seseorang,” kata Marni. Suaranya tajam menyelidik. Dan matanya ......,oh, mata yang indah itu! Tarri benci melihatnya. Mata itu demikian hidup, berbinar-binar, seolah-olah sejuta bintang mengintip diana. Lebih-lebih sekarang. Ketika rasa ingin tahu yang berlebihan membuat mata itu lebih bersinar lagi. Bukan urusanmu, sahut Tari dingin. Bulan depan kau menikah. Tak pantas lagi kau mengintip-intip pacar orang. Marni tercenganng sedetik. Tapi di detik lain, tawanya meledak, keras. Cerah. Mengguncang-guncang bahu dan dada nya yang padat berisi itu. Katanya di sela-sela tawanya. Sekarang aku tahu sebabnya! Si tolol itu! Adi belum melamarmu juga ya? Seharusnya Ibu tak perlu cerita kepadanya,  geram Tari dengan muka yang merah padam. Ibu selalu membuat aku malu! Jangan takut anak manis, ! Marni mencubit pipinya. Tari mengelak dengan sengit. Dia selalu muak di perlakukan seperti anak kecil begini. Aku bisa menolong mu. Bicara dengan Romeo mu yang hampir pikun itu, mau? Terima kasih, sahut Tari ketus. Aku sudah cukup berterima kasih kalau kau  lekas-lekas menyingkir dari sini. Sekarang. Sebentar lagi tamu ku datang. Tamu? Belalak Marni heran. Sudah berhenti tawanya. Tamu istimewa rupanya , ya? Tamu siapa, Tari? Desak ibu yang tiba-tiba muncul dari dalam. Kenapa tidak kau katakan pada Ibu? Lihat, mebel kita sudah begini kotor! Celaka, berungut Tari kesal. Ibu selalu muncul disaat yang tidak aku harapkan. Dan Ibu selalu mencuri dengar percakapan kami! Sebenarnya tidak ingin saya katakan, katanya segan. Seorang teman dari surabaya. Katanay mau mampir sebentar. Kau punya teman di surabaya? Belalak Marni makin heran. Sahabat penaku, “ sahut Tari setengah terpaksa. Sahabat pena? Marni mebeliak lebih lebar lagi. Tari mengeluh dalam hati. Dalam keadaan sejelek-jeleknya pun, Marni masih tetap cantik. Beruntung benar menjadi orang cantik. Mulut yang terlalu lebar buat orang lain, malah sexy bila jadi mulutnya.! Kau tak pernah bilang punya sahabat pena! Buat apa bilang? Jadi sengaja kau rahasiakan! Tentu, sahut Tari terus terang. Takut keduluan lagi olehmu. Sengaja aku pakai alama rumah temanku. Sudalah, potong Ibu tak sabar. Temanmu itu, yang mau datang nanti, siapa namanya Tari? Paul. Tari menghembuskan sepotong nama itu bersama hembusan napasnya.

            Nah, Paul harus kita undang makan di sini! Kata Ibu...., ah, kenapa mesti repot-repot begini? Dia teman biasa kok! Maksud saya.... Ibu tahu  maksudmu! Potong ibu pula. Kalau kau tak punya keberanian, sampai kapan kau mau menunggu? Kau harus menunggu sampai ada pria yang terpaksa menoleh kepadamu  karena sudah tidak ada pilihan lain? Sudalah, sekarang kau pilih pakaian yang terbaik di lemari mu, kalau perlu kau boleh pinjam baju Marni...., ah, tidak. Kau beli saja baju baru di toko.! Aku ikut! Sambar Marni gembira. Aku bisa membantu memilihkan baju yang cocok untuk kulitmu yang berwarna tembaga! Tidak, potong Ibu tegas. Kau pergi pesan  makanan ke rumah makan di sebrang. Percuma melawan perintah Ibunya. Percuma mencegah kehendak seorang Ibu yang rela melakukan apa saja demi memperoleh menantu yang di idam-idamkannya. Lebih baik dia lekas-lekas pergi mencari baju  daripada membuang waktu bersih tegang leher lebih lama lagi. Dan ketika pulang, Tari menjadi amat heran. Makanan telah terhidang lengkap di atas meja makan. Ayahh telah menunggu dengan tidak sabar di kepala meja. Dan Ibu telah tiga kali mengintai keluar dari balik jendela. Tetapi yang di tunggu-tunggu belum muncul juga.! Pukul berapa katanay adia mau datang, Tari. Katanaya sekitar pukul sepuluh, Bu, sahut Tari antara sedih dan malu. Sekarang sudah hampir pukul dua belas,dumal Ayah sambil menguap. Kalau belum apa-apa sudah tidak menepati janji begini....” sudalah! Potong Ibu segera. Jangan menggerutu terus. Barang kali ada halangan di jalan.

            Dari tadi si Marni tidak kelihatan, kata Ayah tiba-tiba. Di mana dia? Kata si Minah pergi dengan temannya . waktu Marni pulang beli makanan tadi, temannya sudah menunggu di sini. Sebulan lagi menikah, masih kau ijin kan dia  keluyuran dengan teman-temannya? Mana aku tahu? Balas Ibu kesal. Tadi kan aku pergi menjemput mu ke kantor. Telepon kita  rusak, tidak bisa menghubungi mu lewat telepon! Dan mereka mulai lagi mempertengkarkan Marni. Membicarakan marni. Marni. Marni! Lupa kepada Lestari, yang duduk salah, berdiri pun salah. Lupa kepada Lestari yang dengan berlinang air mata berdoa dari dalam kamarnya, semoga ada angin yang menghembuskan Paul kerumahnya. Sia-sia. “Paul tidak akan pernah muncul. Tentu saja Tari tak pernah berpikir, mimpi pun tidak, Paul telah datang kerumahnya dan bertemu dengan Marni!” Merasa malu bertemu muka dengan orang tuanya, Lestari menghindari dia dengan mengurung diri berhari-hari di dalam kamarnya.sampai malam  itu, tiga hari sebelum pernikahan Marni, ayah-ibunya menerjang masuk kedalm kamarnya tanpa mengetuk pintu lagi! Ayah ingi bicara, Tari! Suara ayah gemetar di desak amarah yang meluap. “So....., soal apa, ayah?”  Tanya Tari gugup. Ngeri melihat mata ayahnya yang merah berkilat dijilat api kemarahan. Sia-sia di menerka dosa apa yang telah di perbuatnya.

            “Kau harus menolong kami, Tari. Kau harus menutup malu ini.!”  Tari masih tertegun bingung ketika ibunya memeluk dia sambil menangis. Marni kabur, Tari! Dia mengirim surat dari ....,dari surabaya? Sura....baya?? anak celaka itu minta kita membatalkan pernikahan! Geram ayah sengit. Tapi kelurga Santoso tidak mau menerima alasan kita, Tari.” Seluruh keluarga mereka telah lengkap berkumpul di jakarta. Mereka tidak peduli Joko akan menikah dengan siapa, pokoknya pernikahan harus tetap berlangsung...., dan kau...,dan kau telah di setujui untuk....,untuk menggantikan adik mu....,” Tari tertegun. Menikah? Dengan Joko? Dengan calon suami adiknya? Tangisnya baru meledak ketika kesadaran akan nasibnya perlahan-lahan mulai menjalar ke otaknya.  Duli Marni selalu memberikan pakaian-pakaian bekasnya, pakaian-pakaian yang sudah tidak di sukainya kepada Tari. Dan sekarang....,sekarang bahkan dia memberikan calon suaminya, calon suami yang tidak di sukainya, untuk Lestari. Alangkah hinanya! Seperti tukang loak yang selalu menerima barang-barang bekas! Dan dia harus puas denga sisa-sisa adiknya! “Tari memang Cuma anak pungut, Ayah, ratapnya di sela-sela tangisnya. Tari ingin membalas budi pada Ayah dan Ibu!”  Tapi bukan dengan cara seperti ini! Marni telah menghancurkan sebelah hatiku, Tari. Janganlah kau remukan lagi yang sebelah lagi. Selama ini Ayah tidak pernah minta apa-apa kepadamu, bukan? Semalam-malaman Tari menangis menyesali nasibnya. Separuh umurnya telah di lewati nya sebagai anak angkat yang harus selalu mengalah kepada adiknya. Dan kini, separuh umurnya lagi harus di korbankannya sebagai istri laki-laki yang tidak mencintainya!

            Tetapi samapai disini pun penderitaanya belum berakhir. Ketika persiapan pernikahan telah selesai, ketika semua undangan telah di bagikan, Marni tiba-tiba saja muncul kembali di tengah-tengah mereka!” Maafkan aku, Tari!” Tangis Marni di atas bahu kakanya. Aku telah merampas milikmu! si Paul itu sungguh terkutuk! Dia hampir berhasil melarikan aku ke singapura! Dia bajinga, Tari, penipu! “Sudalah”, keluh Tari sambil memikirkan nasib buruk macam apa lagi yang belum pernah menjenguknya. Aku pun tak merampas milikmu. Aku rela menyerahkan Joko ke tanganmu. “Syukurlah kau telah kembali, Marni.” Ibu merangkul Marni sambil menangis. Mudah-mudahan semua dapat di selesaikan secara kekeluargaan. “Jadi bagaimana ini?” Geram Ayah jemu.” Apakah Joko harus kembali menikah dengan Marni? Bagaimana dengan undangan yang telah di sebarkan?” Maaf”, sela dokter Joko tiba-tiba. “Saya tetap akan menikah dengan Lestari. Pernikahan bukan tali senar yang bisa di pindah-pindahkan.”

            “Tapi pernikaha bukan alat untuk balas dendam! Sya masih punya harga diri! Sahut Tari tega. “Tentu. Joko tersenyum lembut ke pada Tari.” Justru kau memiliki harga diri aku jadi tertarik padamu. Bukan karena mendendam kepada Marni. Saya membutuhkan istri adalah kau, Tari. Untuk mendampingi saya bertugas di pedalaman kalimantan. Dan kata Ayah, cinta bisa menjelma setelah menikah, bukan?”

Jumat, 01 Juni 2012

"Ulang Tahun Terakhir"


MAMA, kita nengok Papa yuk.” Suara Lisa membuyarkan lamunan ku. Melalui kaca lemari hias kulihat dia tegak berdiri diamabang pintu kamar. Segera dia berlari kepelukanku. Lisa mau lihat Papa, Ma, katanya lagi sambil memandang wajahku sejurus. Aku Cuma mengangguk. Dan tak terasa kedua kelopak ku basah. Mama? Lisa menatap ku heran. Mama menangis, Ma? Aku hanya memeluknya lebih erat. Haruskah kuceritakan pertengkaran ku semalam kepada putri ku yang masih kecil? “Papa sakit, Lisa. Karena itu Mama menangis,sahutku lirih.

Suamiku mendapat penyakit darah timggi yang cukup gawat. Tadi malam kami bertengkar. Dia begitu gusar sehingga tidak dapat menahan dirinya lagi. Mama sayang  Papa ya? Mata Lisa langsung menatap ke mata ku. Menyelidik, . kenapa semalam Papa disuruh pergi, Ma? Berdebar hatiku dibuatnya. Tadi malam? Kutatap tajam-tajam kedua bola matanya yang bening. Ah, setiap kulihat kedua matanya , aku teringat Handoko. Bekas kekasih ku. Aku sadar, kedua mata Lisa bukan milik mas Dedi suamiku. Itu adalah milik  Handoko, karena Lisa hsil cinta remaja yang terlalu menggelora antara aku dan Handoko, delapan tahun yang lalu. Kami sama-sama muda saat itu. Sama-sama tidak tahu akibat  yng bakal terjadi. Sehingga Handoko sempat membenehi Lisa di rahimku. Dan ketka Handoko lari dari tanggung jawab, hanya mas Dedi seorang yang mau menerima ku sebagai  istrinya dan menganggap Lisa sebagai anaknya sendiri. Iya tadi malam Lisa belum tidur, katanya nyaring, membangukan aku kembali dari kenngan masa lalu. Lisa dan tante Nuniek melihat Papa keluar. Papa terus pergi. Tidak mencium Lisa. Papa marah sama Lisa ya, Ma?

Tidak, sayang, gumamku lembut. Papa sayang Lisa. Kucium kedua pipinya sepuas-puasnya. Sekarang tidur dulu ya. Nanti sore kita menengok Papa. Aku bangkit dan mengantar Lisa kekamarnya. Segera ku gantkan bajunya dan ku gendong dia keranjang. Tidur yang manis ya. Ku kecup dahinya. Mama...., Lisa memegang lenganku. Minggu ddepan tanggal dua puluh,Ma...... aku mengerutkan kening dan dan menoleh ke alamanak yang tergantung di dingding . alamanak itu sudah penuh dengan corat-coretan mulai dari tanggal satu sampai dengan tanggal hari ini. Mama, lupa? Itu kan hari ulang tahun Lisa, Ma. Kulihat kekecewaan di mata anak ku. O, tuhan, sampai-sampai aku tak tahu lagi hari ulang tahun putri tunggalku. ! mama...Lisa menelitiwajah ku. Kita tidak bisa pesta ya, Ma? Tak sengaja mataku beradu dengan matanya. Papa sedang sakit. Suara Lisa menurun. Nadanya terdenganr sangat kecewa. Tante Nuniek bilang, kita tidak akan pesta sampai Papa sembuh. Papa akan sembuh. Terlompat begitusaja kata-kata itu dari mulut ku. Papa akan sembuh , Lisa. Kita akan pesta dan semua teman-teman Lisa akan kita undang.

Mata Lisa bercahaya dalam kegembiraan. Ada tamu, Mbak. Nuniek tegak di ambang pintu. Tante nuniek1! Kita akan pesta! Lisa menghambur dairi pangkuanku dan lari memburu Nuniek. Papa akan sembuh, Tante! Lisa akan mengundang semua teman Lisa, Horeee...! nuniek tersenyum. Nuniek adalah adik mas Dedi yang paling bungsu. Sejak setahun yang lalu dia ikut kami. Mama......Lisa memegang tangan ku. Matanya yang bulat dan bening menatap ku sungguh-sungguh. Apa sayang? Aku mencoba tersenyum  lembut menatapnya. Sebuah boneka yang bisa bicara? Atau....,alat-alat gambar? Lisa menggeleng . ditatap mata ku dalam-dalam. Lisa minta adik Ma, katanya tenang. Aku tertegun mendengar permintaanya kali ini. Lisa minta boneka yang bisa jalan. Bisa bicara. Bisa ngejar Lisa. Juga bisa tidur dan main sama Lisa. Tante nuniek bilang... segera kulirik Nuniek. Itu bukan boneka lagi. Itu namanya adik, dan adik Cuma bisa di beli di perut Mama. Anak pandai. Suatu suara mengejutkan dari belakangku. Aku tak perlu menoleh lagi. Karena suara itu sudah demikian ku kenal. Handoko melewati ku dan berlutut di muka Lisa.

O, Tuhan, ! seadainya kami lebih dewasa delapan tahun yang lalu. Hal ini tidak perlu terjadi. Tak perlu kami bohongi anak tak berdosa ini siapa ayahnya. Sebuah boneka yang bisa jalan dan bicara.... Handoko tersenyum ramah kepada Lisa. Di pegangnya ke dua tangan annak itu.  Oom Handoko akan berikan kepada Lisa. Oom janji. Mata Lisa melebar. Yang bisa mengejar Lisa? Adik Lisa? Tanyanya bersemangat. Tapi kata Tante nuniek...Lisa menatap Nuniek di belakangnya. Kata tante,  hanya Mama yang bisa memberikan. Handoko menoleh sebentar ke arah ku. Pandangannya begitu menusuk. Tapi bibirnya tetap tersenyum. Aku hanya dapat menunduk dan berusaha tidak menangis. Apa jadinya kalau aku sampai menangis? Boneka yang bisa ngejar Lisa, akan Oom berikan tahun depan. Dan tahun ini? “Cuma yang bisa jalan dan bicara.”seyum yang cerah menghias bibir mungil Lisa. Dan Oom akan datang di pesta Lisa? Betul? Oom janji? Tanya Lisa bersemangat. Oom janji, handoko kembali tersenyum. Terima kasih, Oom. Lisa tertawa gembira.

Oom sangat baik. Lisa mau cium Om. Boleh ya, Ma? Aku tertegun. Belum sempat berkata apa-apa ketika Handoko sudah menyorkan wajahnya ke bibir Lisa. Lisa mengecup lembut dahi Handoko. Aku tak dapat lagi menahan air mataku.. segera kupalingkan wajah ku dan keluar di ikuti Handoko. Anak yang lucu. Begitu manis, gumamnya sambil berjalan mengikuti ku keruang depan.  Kita dapat bahagia bertiga, tien. Percayalah. Sejak kedatangannya senulan yang lalu Handoko terus berusaha membujukku dan Lisa turut ikut denganya ke sumatra. Karena disana dia telah mempunyai kedudukan yang kuat. Tidak seperti delapan tahun yang lalu ketika dia meninggalkan aku sendiri saja bersama bayinya dalam rahim ku. Maafkan aku, Han, kataku perlahan. Mas Dedi sangat baik. Aku tak dapat begitu saja meninggalkannya.  Aku yakin kau tak bisa mencintainya. Jangan menipu diri. Jika itu kau katakan delapan tahun yang lalu, memang benar. Tapi tidak sekarng! Kataku tegas. Memang aku tak mencintainya ketika terpaksa menerima lamarannya. Tapi aku telah berusaha. Sedikit demi sedikit. Amat sulit memang. Tapi akhirnya aku dapat menerimanya” Handoko terdiam.

Aku tak mau mengulangi kesalahan ku yang kemarin, Han. Dia begitu membutuhkan diriku. Tapi aku tidak berada di sisinya. Malah aku pergi bersama kau Han. Aku menangis perlahan. Handoko hanya diam mengawasi. Tien.....katanya akhirnya. Sunyi sebentar. Aku tidak akan memaksamu, seandainya sekarang kau dapat bahagia dengan suami mu sekarang.  Aku tidak akan mengganggu rumah tangga mu  lagi.  Handoko berdiri dan kami saling bertatapan. Lama. Hanya mata kami yang saling bicara. Kapan kau berangkat Han?” Nanti sore.” Lambat-lambat dia mencium kening ku. “Ciuman dari seorang sahabat,” katanya perlahan. Aku mengangguk lemah. “Selamat tinggal, Tien.” Handoko baru mau  melangkah pergi ketika tiba0tiba suara Lisa memecah kesunyian. Oom....” Handoko tertegun. Lisa melongokan kepalanya dari jendela kamar. Lisa gak bisa tidur, Om, katanya sambil tersenyum. Oom janji datang ke pestra Lisa kan?  Nah, Oom belum tahu tanggalnya. Tanggal 20 jam 10!” lagi-lagi Handoko tertegun. Dia melihat sekilas kearah ku. Oom akan datang, Lisam katanya lirih sambil tersenyum. Seandainya kami tidak melakukan kesalahan itu. Mereka tak usah berpisah sekarang . tak akan ada perpisahan antara seorang ayah dengan putrinya. !

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Mas Dedi sedang duduk di pembaringan saat aku dan Lisa meneengoknya sore itu. Papa! Lisa lari mengambur kepelukan ayahnya. Papa, lisa sayang papa! Di kecupnya pipi ayahnya. Dan ini satu lagi dari Mama katanya sambil mengecup pipi yang satunya lagi. Mas Dedi tersenyum menatap Lisa. Sekilas dia menatap ku. Tiba-tiba saja dia mengeluh berat. Kenapa, Pa? Lisa merangkul manja. Kata Mama, Papa akan cepat sembuh. Lisa , ku potong kata-katanya sambil duduk di sisi pembaringan. Sekarang duduklah yang manis. Lisa mematuhi perintah ku. Mas......, Kubelai wajah suami ku perlahan. Hanya itu yang dapat keluar dari mulut ku. Maafkan kejadian semalam...., Aku baru hendak berkata lagi ketika perawat menyentuh bahu ku. Maaf, bu, Bapak tidak boleh terlalu lelah. Kalau begitu, beristirahat saja dulu, ,Mas. Jangan pikirkan  apa-apa. Aku bangkit dan  membimbing tangan Lisa. Bilang sama Pap, Lisa mau pulang dulu ya. Papa, Lisa ulang tahun minggu depan. Papa cepat sembuh ya. Lisa mau pesta sama teman-teman. Mas Dedi bergumam lemah, tak jelas apa yang di katakanya. Papa? Lisa nggak ngerti apa yang Papa bilang. ?  Papa menanyakan hadiah ulang tahun mu, Lisa, kata ku mencoba menengahi. Boneka beruang Papa. Yang besar dan coklat. Seperti punya Titin.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Ketika memasuki kamar Lisa malam itu. Dia sedang asyik mencoret tanggal sembilan belas di alamanak diatas ranjangnya. Mama......, suaranya sangat cerah. Besok Lisa ulang tahun. Lihat , Ma! Lisa menujuk sebuah kursi di sudut kamar. Disana, diatas kursi, Lisa telah menyiapkan gaun serba merah, sepatu merah, kaus kaki dan tas merah, pita merah, semuanya tersusun rapi. Itu yang akan Lisa pakai besok, Ma. Semuanya serba merah. Mama bilang merah ini berarti kegembiraan, bukan? Aku begitu terharu. Lisa benar-benar sudah bersiap untuk berpesta. ! sekarang tidur dulu ya. Sudah  malam,nanti Lisa terlambat bangun besok. Kataku sambil membaringkan Lisa dan menecup dahinya, wajah Handoko tercermin nyata di wajahnya. Aku mengeluh perlahan dan segera mematikan lampu

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

Jam dingding hampir menujuk ke angka sepuluh ketika kulayangkan sekali lagi pandangan ku keseluruh kamar tidur Lisa.semuanya sudah tampak rapi, sebentar lagi Lisa akan pulang. Dia akan berlari-lari kekamarnya dan menemukan begitu banyak hadiah yang begitu di harapkannya. Dia akan melompat-lompat dan menari-nari ke girangan. Tawanya yang cerah akan pecah berderai seakan-akan tidak akan berhenti. Membayangkan lagak putriku, diam-diam aku tersenyum  sendiri. Dan ketika ku balikan tubuh ku, Handoko telah berada di ambang pintu. Ada boneka besar ditangannya. Kami bertatapan sebentar. Akan ku berikan sendiri kepadanya. Terima kasih, Han. Kamu adalah tamunya yang pertama. Akku mencoba tersenyum ramah. Handoko membalas senyum ku dengan memperhatikan sebuah gambar di atas ranjang Lisa. Gambar yang sederhana. Gambar buatan anak kecil. Ini tebtu gambaran Lisa. Handoko tersenyum  melihat memandang gambar seorang perempuan kecil  di tengah-tengah kedua orang tuanya. Buat Papa dan Mama, tertulis diatas gambaran itu denga tulisan-tulisan besar dan lucu. Hadiah istimewa untuk aku dan mas Dedi. Tentu gambar ku. Aku menunjuk. Dan ini mas Dedi. Ini Lisa .....oh! tiba-tiba telpon berdering.  Handoko segera mengangkatnya. Tak sengaja matanya bertatapan dengan mata ku. Dan tiba-tiba wajah nya memucat. Lisa?! Desisku histeris. Oh, anak ku! Pasti terjadi sesuatu dengannya. ! Aku dapat merasakan nya.

Aku meraskan sembilu semakin dalam mengoyak-ngoyak hati ku. Ya, Tuhan! Diambil maut. Lisa masih mendambakan pesta ulang tahunnya!  Ulang tahun yang terakhir! Oom...,  desahnya begitu melihat Handoko yang berlutut dibelakangnku.  “Mana..., bonekanya.? Handoko menyerahkan boneka besar yang sejak tadi  di peluknya. Dia sudah tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Karena begitu membuka mulutnya,  tangisnya pasti akan meledak tak tertaahankan lagi.

Tahun.... depan...,adik Lisa ya, Oom? Desisi Lisa dengan susah payah. Sebentar-sebentar dia menyeringai menahan sakit. Tapi dia masih ingin bicara. Dia baahkan hendak mengulurkan tangannya untuk membelai boneka itu. Handoko cepat-cepat  meletakan bonekanya di sis Lisa. Tapi Lisa sudah tidak mampu membelainya. Dia hanya menatap dengan lirih. Lisa capek,Ma....,rintihnya lemah. Memegang lengan Lisa erat-erat begitu di lihatnya bola mata Lisa mulai membalik dan memudar.  Lisa...., mau tidur..., dulu...., suaranya hampir  tidak  terdengar. Nanti...,   kalau  teman-teman  ...,,  sudah datang....,, bangunin Lisa ya, Ma...” jangan pergi Lisa!  Aku menjerit menelukup diatas tubuhnya. Jangan tinggalkan,Mama!” tetapi Lisa sudah pergi. Matanya tertutup rapat. Begitu manis, begitu lelap. Sekarang dia hanya  tertidur....

“Tidur yang manis, Anakku. Handoko mengecup lembut keningnya. Saat itu pintu terbuka. Seorang perawat mendorong sebuah kursi roda. Diatas kursi itu mas Dedi duduk memeluk boneka beruang  permintaan Lisa. Terlambat. Lisa sudah pergi. Dan tak akan dapat lagi bermain dengan boneka itu. Aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Yang terakhir ku ingat hanyalah kamar tidur Lisa. Kamar yang sudah siap untuk berpesta. Teman-teman Lisa yang berdatangan dengan kado untuk Lisa. Di tangan mereka. Yang sia-sia menanti kedatangan Lisa kembali. Dan......., alamanak yang penuh denga coretan. Angka dua puluh belum lagi di coret. Lisa belum sempat mencoretnya...

                                               ***********************